Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

#4 Dari Sepiring Telur Dadar--Mengapa Saya Mesti di Sini?

16 Januari 2021   15:06 Diperbarui: 16 Januari 2021   15:41 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, Diari! Sudah makan siang?

16 Januari. Saya ini sebenarnya hanya korban yang menikmati kejatuhannya. Saya sudah menegaskan ini dua kali. Saya hanya di-P-I-C-U. Jelas ya?! Dua orang suhu, penulis yang begitu teliti dengan jalan berpikirnya sendiri, adalah pelakunya. Mereka membicarakan sesuatu yang mengenyangkan. Yang membuatmu tidak ingin apa-apa lagi. Hidup terasa cukup karenanya. 

Tapi saya tidak sedang berusaha ada di sana. Di dalam perdebatan kedua suhu itu. 

Hari ini udara panas sesudah dua hari yang sendu. Tidak ada hujan, tidak ada "aku yang melupakan jemuran". Tetangga sebelahpun sudah keluar dari sarangnya lalu memenuhi tiang bertali dengan pakaian basah yang mungkin terlanjur terendam 2 hari. Sayang, seperti kemarin, seperti pertama kali resmi sebagai penghuni di kamar ini, kami masih belum lagi saling menyapa. 

Seolah saja, kota kecil ini telah memakan habis ke-sosial-an kita. Ego kita mudah lelah, serba curiga dan merasa orang lain hanyalah neraka--padahal kita tidak pernah sungguh-sungguh mengaji kepada Sartre! Kamu kenapa, tetangga?!

Kitaa? Loe aja kali, Beib!

Jadi begini, sebenarnya. Sebagai korban yang terpicu seketika, tadi pagi, sebuah permintaan mahahumor disampaikan Om Guru saya: Min K, Gusur Ruang "love" dan "Diary" dari Kompasiana. Seharusnya kita sudah paska-cinta, paska-galau-galau merah muda, demikian peringatan Om Guru Felix. Ngapain difasilitasi dengan kanal "Love" atau "Diary"? Itu biar buat yang baru menetas saja, milenial atau Gen Z sekalian. 

"Love and Diary "hanya memicu lahirnya romantika lembut yang sebelumnya bekerja diam-diam (atau kegalauan yang tak sembuh-sembuh). Mungkin juga hanya ada di ruang yang terbatas dan khusus; privat lagi intim. Sebagai yang terlatih tabah--maksudnya kepada dua suhu itu, peace!-- romantika lembut sudah tiba di level yang menubuh. Ia telah menjadi laku, perbuatan sehari-hari yang bersatu dengan pikirannya. 

Kata-kata sudah tidak bisa lagi merangkum kekayaan pengalaman dan perjalanan kehendak yang digerakan oleh romantika nan lembut bin gagah perkasa.

Om Guru Felix adalah suhu, tak ada lagi perbantahan perihal kehendak yang menubuh; sudah melampaui ketegangan tubuh dan pikiran. Barangkali senada dengan ilustrasi "Tak ada Rotan, Akarpun jadi". Saya minta maaf jika saja kutipan pepatah ini mendekati sesat, hiks. Milenial tidak hidup di zaman peribahasa diciptakan, maafkanlah. 

Tapi saya. Saya apalah? :(

Semua catatan saya, bahkan ketika bergerilya di ranah fiksi, hanyalah koleksi dari endapan cerita harian-perihal-kegelisahan-kebingungan-udik+pinggiran-norak+nomad-lantas-berbuah-curhat. Bukan rentang yang pendek sebab di tahun ini akan menjadi sewindu melakoni menulis dari antusiasme yang seperti itu.

Mungkin sudah begitu nasib kata-kata yang mengiringi saya. Sebab, humor hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang sudah melampaui. Melampaui diri sendiri, melampaui penampakan superfisial dari bumi manusia. Humor adalah milik mereka yang sudah mencapai status hakikat.

Sesungguhnya saya pernah sekali coba-coba memasang cerita humor. Bukan saja basi lagi garing. Kemunculannya langsung dibabat admin. Hilang dari ruang baca khalayak-TERLARANG. Keringat dingin memenuhi tengkuk yang makin tebal dimakan matahari ini. 

Duh, rasanya seperti mengambil sempak yang tertukar tapi diteriaki maling. Ya gimana gak jadi begitu, sempaknya berenda-renda berwarna merah jingga?!

Humor hanya milik mereka yang sudah melampaui, bukan?

Sedang kami ini, barisan milenial angkatan pertama yang dibentuk oleh momen-momen transisi: dari mesin ketik ke internet, Orde Baru ke Orde Reformasi, Telenovela ke Drama Korea, dari Raisa dan tidak kemana-mana?? Bagaimana caranya "melampaui"?

KAMI, iya KAMI tanpa dendam kekuasaan dan kehendak memerintah. Tanpa seragam dan vergadering!

Jadi, ijinkan saya membetah-betahkan diri di sini. Di dalam diari. Walaupun guru-guru saya tidak pernah menganjurkan seorang lulusan IPS bermasa depan menjadi penulis diari ternama, tiada masalah. Anggap saja ini bagian dari latihan menyusun memo penelitian, hihihi. 

Lagi pula, mumpung generasi yang semestinya mengisi kanal ini belum ada, biarlah saya terlibat sebagai bagian dari penunggunya. Sembari mengabadikan pergulatan hati dari generasi yang dibentuk seleranya oleh Hai atau Aneka Yess! Siapa tahu, dengan begitu, Prof. Pebrianov tidak lagi merasa sendiri menempuh jalan ninja menjadi Kandidat Admin K tahun 2045; the One and Only! Ada saya yang mulai bermimpi menjadi "Kompasianer Sepanjang Curhat" di tahun yang sama.

Agar supaya Prof. Pebrianov tidak lagi memproklamirkan dirinya sebagai Humas Poltak Center. Kembalilah ke jalanmu yang sunyi, kakang Prof. Ingatlah jika pemiliknya masih punya utang di warung kopi sebelah, dengan apa membayar vermaak celanamu, Prof? 

Bagaimana menurutmu, Diari?!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun