Dear, Diari! Hehehe.
Ini tanggal 13 Januari, waktu berputar di antara hujan dan angin dingin. Di antara rintik gerimis dan deras. Kota ini serasa murung. Awan gelap dimana-mana. Tapi tak ada musik sendu dari pagar tetangga. Tak ada pintu kamar dibuka dari barak sebelah. Semua orang seperti ingin mengurung dirinya. Tak ingin dilihat. Hanya ingin berpelukan dengan kemalasannya sendiri-sendiri.Â
Kamu ingin apa hari ini?
Ternyata itu bukan pertanyaan sepele. Menjadi ingin dari hari yang basah lebih banyak menguras bagaimana bisa ketimbang ingin apa. Tak ada ojek, becek. Tak ada Cinta Laura di luar sana. Kamu ingin tapi tidak bisa beranjak--memangnya mau kemana?Â
Kamu ingin kembali ke kamar tapi di barak dengan ibu kost yang selalu bilang gak apa-apa telat tapi selalu bertanya kapan dibayar sebelum akhir bulan tiba itu hanya ada kasur murah dengan sepasang bantal yang sponsnya hanya bertahan empuk di 3 bulan pertama. Seperti pengantin baru dengan bulan madu yang tergesa-gesa. Sedang hutang hajatan dan mas kawin tidak bisa ditunda. Lagi pula, sepanjang malam kamu sudah tertidur tanpa mampu mengingat apa hal terakhir yang kamu pikirkan.Â
Memasak mi rebus rasa kari ayam, dua butir telur dan 15 biji cabe rawit? Bayangkan aroma gurihnya mengepul di antara hidung dan matamu yang berair kepedesan, oh, sedap sekali.Â
Kamu bukan saja tidak memiliki kompor di belakang, tapi kamar minus dapur. Hanya ada sebuah ember, deterjen cair berpengharum dan mulut keran dari perusahaan daerah untuk membasuh wajah. Di belakang sana, lebih sering terbit hikayat rendaman yang biasa kamu bereskan sembari bernyanyi dengan senandung yang makin cerdik menyamarkan suara gesekan sikat. Tak ada merdunya sama sekali. Tak ada kenangan yang lain.Â
Kamu berusaha berbicara dengan buku puisi tapi kata-kata di sana sudah terlanjur lelah mendengarkan hidupmu. Sudah terlalu sering dan mereka terpaksa menjalani bosan. Tidak lagi ingin dijadikan pelarian. "Ini hanya hujan, bukan masa perang. Jangan keseringan mengungsi ke sini." Kau pura-pura saja tidak tahu suara itu berteriak setiap kali lembar halaman buku puisi satu-satunya yang ada di kamarmu ini hendak kau buka.Â
Buku yang menulis namamu sebagai pengarangnya. Bah!
Di hari seperti ini, ketika kota terlihat murung di setiap sudutnya, bagaimana bisa akan membuatmu terlalu sibuk pada angan-angan yang selamanya ada di sana, tak bisa dijangkau. Kamu menjadi tidak ingin apa-apa. Tak ada mi rebus, kasur empuk dan buku puisi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!