Pada mulanya alasan memilih kampus terbaca sebagai peristiwa konyol, ternyata di dalam yang konyol (jangan sampai salah tulis! #masJePeModeOn) terkandung...
Begitulah akhirnya saya tiba di Manado. Kota kecil di tepian laut Pasifik yang melahirkan nama besar seperti Sam Ratulangi, futurolog dari masa perang. Nama yang rumah pengungsiannya di Serui, Papua seringkali saya lewati di masa kecil. Namanya menjadi kampus yang menjuangkan falsafah "Sitou Timou Tumou Tou". Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain.
Di kampus itu, kepentingan akademik saya diasuh seorang pendeta Protestan sekaligus sosiolog. Seorang yang sangat energik dalam ruang perkuliahan dan tak pernah bosan mengingatkan jika seorang sosiolog tidak bisa melihat masalah-masalah sosial sebagai diri yang berjarak dan dingin. Seolah saja masyarakat adalah sebongkah daging mati di ruang eksperimen medis--cieh, nyerang anak-anak IPA nih ceritanya?!
Seorang guru, pembimbing, dan orang tua yang sedikit penghormatan kepadanya telah saya abadikan di Kepada Guruku yang Pendeta dan Sosiolog Itu. Yang meyakinkan saya jalan sosiologi boleh membawamu kemana suka tanpa kehilangan akar dan sikap berpihak. Menjadi manusia pinggiran yang percaya diri. Guru semasa kuliah ini adalah adik tingkat Om Guru Felix Tani di Salatiga.Â
Keasyikan mempelajari sosiologi telah membuat saya tabah bertahan jauh dari rumah. Termasuk tabah diputus seketika adik kelas sesudah 3 bulan mengalami masa mahasiswa baru. Oh ya, adik kelas ini jurusannya IPA--apakah ini tampak sebagai kebetulan atau kutukan di matamu?!
Ini Manado, Bung. Sebab memutuskan kuliah tidak semudah memastikan nasib, tetap berjuang! Dan, semoga Om Guru Felix Tani memaafkan saya dalam kesaksian ini. ***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H