- Untuk (si) Mbah
Perempuan Sebelas Desember selalu duduk di bawah lampu pekuburan tua. Tak lama berselang, kepalanya menyala dan berwarna resah. Sepertinya musim gugur sedang bersemi di sekujur tubuhnya. Kemudian matanya mengeluarkan selembar tragedi yang pernah dibacanya dalam Sri Menanti. Tragedi dari riwayat kemaluan yang berdarah.
"Negara sudah tua tapi politisinya bebal dan mengerikan." Perempuan Sebelas Desember bicara kepada dirinya sendiri.Â
Kepalanya kemudian padam, seperti kunang-kunang yang pulang. Dirinya tiba-tiba disergap kantuk yang hebat. Seperti berabad-abad tak tidur karena menjaga nasib sebuah bangsa. Perempuan Sebelas Desember terlelap dengan wajah yang berusaha tabah.Â
Sedang aku akan berdiam di belakang tubuhnya. Seperti roman yang belum memiliki kata-kata, penasaran dan selalu ingin tahu ceritanya. Aku memegang sebuah kamera tua seperti milik Benjamin Asher Ryde, fotografer terkenal dengan karya-karya yang gagah. Karya-karya yang menjauhkan cinta dari istri dan anak lelakinya.Â
Benjamin yang hidupnya dimakan kanker tidak pernah percaya cinta dan kebahagiaan sebagai sumber dari produksi karya yang jenius dan abadi. Omong kosong! Semua seniman hebat diciptakan dari hasrat-hasrat ganjil dalam dirinya, bersabda ia kepada anaknya. Narsisme, ambisi, seks dan amarah itulah lubang berkesenian yang tak pernah bisa ditutupi.Â
Tapi aku tidak mengumpulkan sejarah seperti cerita hidup Benjamin di Kodachrome yang kulihat sebelum hari berdarah. Sejak hari itu, sejatinya aku memang sudah menjadi sejarah.Â
***
Hari ini, 365 hari yang lalu.
Kami-aku dan Perempuan Sebelas Desember-mula bertemu di depan huru-hara yang mudah dihabisi. Ada antrean panjang orang-orang marah dan kelaparan. Golongan yang menjadi alas kaki dari janji kemajuan sebuah negeri. Entah bagaimana kami bisa tiba di  hari yang naas ini, tak lagi jelas kuingat. Satu-satunya yang terkenang, kami datang dari tujuan yang berlawanan.Â
"Tenang, tenang. Negara selalu hadir, semua akan dilayani."