Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Sebelas Desember

28 Desember 2020   21:54 Diperbarui: 28 Desember 2020   22:10 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempua dan Lampu Kota | Sumber: favim.com

Suara itu berteriak dari sebuah megafon dari mulut yang gagah. Berulang-ulang, meninggi dan konstan. "Mohon agar mereka yang hidupnya masih ditanggung oleh kebaikan orang kaya boleh berdiri di urutan paling belakang." Kata-kata ini menyusul dengan kalimat pamungkas, "Tidak ada yang lebih mulia dari mendahulukan kepentingan mereka yang membayar pajak lebih mewah kepada negara."

Tak ada lagi tawar menawar. Tapi orang-orang ketakutan sudah terlalu lelah dengan perintah dan ancaman. Terlalu lelah melawan kemiskinan yang mendera hidup sejak dalam kandungan. Terlalu lelah disalah-salahkan.

"Bakaaaaaaar saja!" 

Seorang pengemis dengan dada yang semakin hari semakin tipis berteriak. Sembari melempar sebotol bensin. Seorang gembel yang lain membuang api ke tengah-tengahnya. Udara terbakar seketika. Kantor layanan bantuan tunai membara. Aparat penertib negara bergerak cepat merapatkan barisan. 

Sirene mengaung-ngaung. Dalam sejenak saja, tiba mobil pemadam api dan pemadam huru-hara massa. Mereka menyusun barikade dan mengepung. Serasa sudah bersiap sedari malam.

Benturan mulai pecah. Jalanan bersiap mandi darah. Sesungguhnya, aku menikmati berada di tengah-tengah. Momen demi mendaki kepopuleran. Bayangkan, Seorang Jurnalis Warga Meliput di Tengah Huru-hara! sebagai judul berita media arusutama. Kisahku menjadi sumber utamanya.

Aku berlari ke sebuah longgar yang sedikit terkuak di antara barikade. Mencoba menemukan ruang ideal mengabadikan peristiwa bentrok tak seimbang ini. Walaupun hanya jurnalis warga yang kebanyakan menulis untuk dibaca sendiri, jarakku terlalu rapat dengan kekacauan. 

Aku butuh sudut pengambilan yang tepat. Kamera warisan bapak kusiapkan dengan seksama. Tak ada jalan keluar. Laksana capit, barikade antihuru-hara bergerak menjepit. 

"Jangan ditendang, Pak."

Suara milik perempuan yang berusaha mengembalikan akal sehat di tengah kekacauan. Ia muda, menggunakan flanel merah dengan sepatu kets berwarna biru laut. Rambutnya hitam sampai ke bahu. Wajahnya sepintas terlihat sendu. 

Ia berlari ke tengah sepasang kaki bersepatu yang sedang bersiap menginjak sesosok tubuh kurus. Berjongkok dan menatap marah, "Jangan ditendang lagi!" Tubuh kurus itu telah bersimbah darah. Jerit luka dan iba tak lagi bisa dibedakan. Nafasnya terengah-engah dan berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun