Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Melankoli Senja di Mendawai

28 Desember 2020   09:52 Diperbarui: 12 Februari 2021   23:31 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal, Jamban dan Sungai di Mendawai | dokumentasi pribadi

Rencana sederhana dari keinginan membagikan beberapa buah lampu bertenaga surya. Lampu dengan panel sederhana yang bisa ditenteng kemana-mana. Entah untuk belajar anak sekolah atau sebagai penerangan ketika mengumpulkan hasil hutan. Tapi bukan buat Mendawai yang sudah punya listrik bertenaga disel walau masih kekurangan daya.

Lampu solar sel itu untuk warga di desa Galinggang. Galinggang terletak agak ke hulu dengan waktu tempuh sekitar 3-4 jam menyusur sungai Katingan yang sepi. Orang Galinggang telah melewati hidup bertahun-tahun tanpa penerangan listrik negara. Kedatangan pertama ini untuk tiga bulan saja. 

Setahun kemudian, saya datang lagi ke Galinggang dengan masa tinggal yang lebih lama. Mendawai saat itu masih sebagai lokasi transit di akhir bulan. Setahun sesudahnya, saya baru mengalami Mendawai sebagai ruang hidup sehari-hari. Lebih lama dibandingkan Galinggang, desa pertama yang menampung segala pertanyaan dan kegelisahan di heningnya DAS Katingan. 

Desa yang pertama kali bercerita tentang keberlimpahan uang dari perburuan kayu, perburuan kesenangan dan kemewahan, hingga mengapa mengenang itu semua kini seperti menyusuri jalan buntu. Atau seperti mengalami masa depan yang "dikutuk". 

Rumah Panggung dan Perahu | dokumentasi pribadi
Rumah Panggung dan Perahu | dokumentasi pribadi
Kemarin sore, matahari terbenam dengan semburan cahaya kuning yang memenuhi cakrawala. Bukan senja yang terbaik, memang. Beberapa senja bahkan terlihat seperti lukisan alam yang malas atau berulang. Seolah sedang kelelahan atau merasa jenuh dengan hidup yang begitu-begitu saja. 

Namun senja yang menghamburkan cahaya keemasan seperti ini selalu hadir laksana pelukan. Serupa upacara pemberian rasa hangat sebelum tiba pada kegelapan malam. Saya mesti menunggu senja seperti ini tiba dan terpana. Walau senja terbaik yang pernah saya jumpai hanya milik Suatu Hari di Tampelas.

Sedang kilau keemasan rumah panggung yang berderet dan perahu-perahu yang diam adalah pertanda hari yang beristirahat. Sebentar lagi lampu-lampu dinyalakan, pintu-pintu dan jendela rumah ditutup. Adzan magrib segera berkumandang dan orang-orang tertib berdiam di dalam rumah. Sekejap saja keheningan memeluk jalan-jalan utama di Mendawai. 

Senja yang kuning keemasan juga memberi saya pertanda yang lain. Sebelum kegelapan benar-benar total, di ujung cahaya kekuningan itu, sebuah transisi waktu akan menghadirkan suasana yang lebih syahdu. Transisi itu akan menciptakan momen yang mengendapkan segala kesaksian kedalam takjub. Berkali-kali rasa takjub. 

Momen itu adalah perjalanan puncak senjakala. Momen ketika pergeseran waktu ditandai dengan perubahan warna merah dan hitam yang mengikuti layaknya jelaga. Tiba pada keheningannya sendiri. Semacam "transfigurasi".

Sebuah peristiwa alam yang menandai bahwa pergulatan harian manusia selalu memiliki ruang untuk jeda. Ruang kepada istirah. Ruang bagi kembali kedalam rumah, kedalam sunyi. 

Peristiwa yang juga memberi moratorium bagi kelelahan dan rasa capek. Terutama bagi mereka yang pergi mengumpulkan ikan atau mengolah kebun dengan hasil yang tak seberapa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun