"We are now aware that we're on the right path, that we'll have this attitude in every game whether we are against Parma or Barcelona. We must press high, be aggressive and win back the ball so we can control the match." - Coach Andrea Pirlo via Football Italia.
Hingga Desember, seluruh tim di Serie A Calcio telah menyelesaikan 13 pertandingan dengan tiga penghuni dasar klasmen: Crotone, Genoa serta Torino. Ironis, sebab dua nama terakhir adalah juara-juara Serie A. Genoa pernah 9 kali mengangkat tropi sedang Torino 7 kali. Lebih banyak dibandingkan Roma (3), Lazio (2) atau Napoli (2).Â
 Sementara tepuk tangan harus diberikan kepada Benevento yang sukses berada di peringkat 12 dengan poin 15. Hasil yang bagus bagi tim promosi yang pertama kali bermain di Serie A tahun 2017. Posisi yang dicapai anak asuh Filipo Inzaghi ini juga lebih baik dari yang bisa dilakukan Fiorentina (16), Parma (15), dan Bologna (16)--sekadar menyebut nama-nama yang akrab dengan pertarungan demi bertahan.Â
Sebelumnya, Inzaghi yang dipecat Milan juga sukses membawa promosi Benevento dimana masih tersisa 7 pertandingan Serie B. Kita menunggu semampu apa tim yang pertama didirikan tahun 1929 ini bisa bertahan. Semampu apa kecerdikan dan keberuntungan yang lekat dengan Inzaghi semasa bermain dulu bekerja dalam sejarah.Â
Di luar pertarungan menghindarkan diri dari kasta degradasi, pergulatan di papan tengah juga tak kalah menarik. Napoli, Atalanta dan Lazio ternyata tak cukup solid untuk bertarung di empat besar. Jarak poin di antara mereka yang tidak jauh membuat persaingan menjaga posisi akan menjadi isu penting dalam konsistensi di tahun depan. Bermain indah saja memang tidak pernah cukup.Â
Sementara itu, di posisi "The Big Four", sejarah kembali diperebutkan oleh "pemilik tradisionalnya". AC Milan, Inter, Juventus dan AS Roma. Tiga yang pertama adalah peraih trofi terbanyak dalam sejarah. Juga mewakili kasta elite di pertarungan raksasa Eropa. Termasuk juga yang kaya dan pemilik skandal.
Sesungguhnya sejarah adalah milik mereka yang belajar dari kesalahan, hukuman dan melawan keterpurukan.Â
Persaingan Para Elite Serie A
Tapi ini tidak tentang masa lalu. Tidak sedang bercakap-cakap kepada satu dekade ke belakang yang ditulis oleh narasi tunggal kedigdayaan La Vecchia Signora.Â
Hari ini tentang kembali persaingan para elite di tengah krisis karena pagebluk Covid-19 yang belum menemukan titik usainya. Persisnya adalah persaingan di antara dua senior allenatore: Stefano Pioli dan Antonio Conte beserta sang pemula, Andrea Pirlo. Ketiganya pernah berseragam Juventus saat masih aktif bermain.
Lantas bagaimana kans dari ketiganya?Â
Sesungguhnya, musim kali ini adalah kesempatan bagi Pioli dan Conte untuk menjadi yang terbaik. Kesempatan yang dimungkinkan oleh alasan, pertama, selain berpengalaman mengarungi pertarungan di kasta teratas Italia, mereka sudah memiliki musim sebelumnya dengan klub asuhan. Conte telah membesut Inter sejak semusim lalu, demikian juga Pioli. Walau kerja keduanya masih belum bisa menyingkirkan Sarriball yang sejatinya mati gaya dengan Juventus.Â
Semestinya mereka berdua tidak memiliki banyak problem dalam menerjemahkan filosofinya kedalam cara bermain tim. Juga menemukan serabut masalah yang membuat timnya kelihatan gagah sejenak, semenjana hingga akhir musim menjelang. Kalaupun ada rentetan cedera dan kisruh kecil dengan manajemen klub, misalnya. Atau jadwal yang padat dalam seminggu. Ini bukanlah faktor utama yang bisa diajukan sebagai alasan.Â
Sebab jika Anda mengharapkan sepak bola dengan musim tanpa cedera dan terlibat kisruh dengan petinggi klub, sebaiknya bermain bola bekel atau catur saja.Â
Kedua, alasan apalagi kalau bukan Pirlo hanyalah seorang pemula yang dipilih di tengah musim yang absurd? Musim yang memaksa umat manusia berhati-hati dengan cara hidupnya juga cara dia bergaul dengan sesamanya gara-gara virus. Musim yang memaksa penguncian dan disiplin pada kesendirian adalah sebaik-baiknya cara demi menang melawan kecepatan replikasi dari virus.Â
Pirlo mestinya terseok-seok dong, jika seorang pemula dikaitkan dengan jam terbangnya. Ditambah lagi, pasukan yang dilatihnya adalah sosok-sosok yang pernah menjadi rekan setim. Dia harus bisa meyakinkan mereka dengan ide sepakbola yang dikehendaki sebagai solusi menghadapi musim yang ganjil. Juga, yang tak kalah menantangnya, menegakkan wibawa di ruang ganti dan pinggir lapangan.Â
Kepemimpinan dan mentalitas acapkali menjadi kunci ketimbang berkitab-kitab buku taktik. Sejauh ini, Mister Pirlo berhasil melaluinya. Sesudah menghasilkan 7 kemenangan dan 6 hasil imbang minus kekalahan, Pirlo baru bisa bicara, "Inilah Juventus yang aku inginkan!"Â
Juventus dengan sikap selayaknya apa? Juventus yang memainkan pressing tinggi, agresif dan segera memenangkan bola agar boleh mengontrol permainan. Juventus yang dijanjikannya ketika dipilih menggantikan Maurizio Sarri. Perihal janji sang Profesor, saya telah membahasnya di Impresi Perdana "Il Profesore".Â
Saat yang sama, Super Buffon juga menimpali jika teman-temannya tidak bisa mengaku sebagai tim-nya Pirlo jika tidak memainkan sepak bola seperti itu. Sepak bola yang intimidatif dan selalu ingin dominatif secara konstan, tidak penting lawannya hanyalah klub utusan dari federasi sepakbola di Negeri +62.Â
Di sepakbola serupa ini, rasanya, kita akan menikmati kehendak yang kuat kepada kemenangan; sesuatu yang disebut-sebut sebagai "DNA Juventus". Dan kita tahu, sebagaimana pesan King Alex Delpiero, Juventus adalah gagasan. Sebab itu, paling tidak, membutuhkan filosofi yang memberi jalan bagi pembuktian klaim DNA tersebut. Bukan jenis filosofi yang kelamaan merenungkan mengapa daya juang begitu lekas lesu darah sesudah memasuki putaran kedua.Â
Tapi keseruan medan tarung bukan soal sukses Pirlo sebagai pemula. Kesuksesan itu hanya mungkin mengada karena memiliki  antitesisnya.Â
Di tengah antusiasme yang menyala-nyala di markas Juventus, Inter dan Milan juga tengah berada di titik yang sama. Setidak-tidaknya, sampai pekan ke-13, Lukaku, dkk tetap bekerja keras menjaga jarak dengan Milan. Milan adalah tim kedua yang belum menderita kekalahan sampai tengah pekan kemarin bersama-sama Juventus. Milan masih lebih unggul dalam koleksi kemenangan dengan 9 kali, sama halnya dengan yang dimiliki Inter. Â
Sebab itu, situasi medan tarung Serie A kini tengah berada di salah satu musim yang seru. Jarak antar posisi dalam klasmen hanya berselisih tipis. Tidak ada lagi yang sukses melaju jauh dan kehilangan gangguan berarti. Apalagi berniat juara dengan menyisakan beberapa pertandingan.Â
Pada pekan ke-14 yang akan dimainkan mulai malam nanti, ketiganya kembali akan diuji ketepatannya memainkan taktik dan menjaga konsistensi. Juventus memang akan bertemu dengan Fiorentina yang sedang megap-megap keluar dari dasar klasmen. Tapi, rivalitas keduanya bukanlah melulu sejarah David Vs. Goliath.Â
Walau dalam 3 musim terakhir, tim asal kota Firenze ini lebih banyak menjadi pecundang. Nyonya Tua bukan tak mungkin dipermalukan jika (kembali) salah bersikap.
Pun dengan Inter Milan yang akan melawat ke kandang Verona. Verona sekarang sedang bagus-bagusnya. Mereka berada di posisi 9 dengan statistik yang bagus: 5 kemenangan, 5 imbang dan 3 kekalahan. Dua kemenangan di antaranya dengan mengalahkan Atalanta dengan skor 0:2 di kandangnya serta Lazio dengan skor 1:2 juga di partai kandang lawan. Jadi, nanti dulu Inter Milan. Â Â
Sementara Milan akan diuji Lazio yang sedang bersemangat karena mengalahkan Napoli dua gol tanpa balas di Olimpico. Sama halnya dengan Milan yang baru saja berhasil menjaga puncak klasmen dengan mengalahkan Sassuolo di kandangnya. Milan adalah mentalitas yang sedang solid dan sedang bergairah menjaga pencapaian hingga boleh juara di musim yang menyakitkan dunia ini. Milan tentu akan menjaga mati-matian martabat San Siro.
So, para pecinta Serie A yang mungkin sempat percaya pada kata-kata Mister Sarri dulu (: jika juaranya selalu Juventus, maka akan ditinggalkan pemujanya) kembali menyaksi perjalanan musim yang sengit. Setidaknya, sampai menjelang libur Desember, medan tarung liga yang sudah dimulai sejak tahun 1898 konstan berada di titik didih.Â
Para penghuni "The Big Four" dituntut terus berada di level terbaiknya. Belum lagi mengelola energi di persaingan antar klub Eropa. Lengah sedikit, ambyar. Lantas, apakah situasi medan tarung serupa ini akan mengembalikan liga ke level kompetitif yang memberi dampak lebih bermakna ke persaingan Liga Champions Eropa? Akan kembali menarik uang gila-gilaan sepak bola ke Negeri Pizza? Memulihkan martabat Serie A selayaknya tahun 1990-an?
Kita tunggu saja. Pandemi masih belum berakhir dan sepak bola selalu melahirkan keajaiban-keajaiban, bukan? #ForzaJuventus #FinoAllaFine.
***
Sumber yang diacu: Goal, Whoscored, Football Italia, Bola.com dan Wikipedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H