Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Libur Sederhana Saya: Mengunjungi Angan yang Jadi Kenyataan

30 Oktober 2020   06:35 Diperbarui: 6 November 2020   16:46 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya, sekarang saya mengurangi konsumsi sayuran dari kebun orang lain.

Hari sore, langit mendung. Saya pergi mengunjungi angan-angan yang telah membentuk kenyataan.

Hampir dua tahun saya tidak ke sini. Dua tahun sebelum kemarin, tempat ini hanyalah hutan kecil dengan sesekali pergerakan serombongan monyet yang memburu buah ke pinggir sungai besar. Mungkin juga Bekantan dan babi hutan. 

Ada jalan setapak menyusuri kanal berwarna hitam yang bermuara ke sungai besar, memang. Dan sebuah rumah dari kayu. Namun lebih mirip sebagai tempat menepi dari pemukiman ramai.

Dua tahun sebelum kemarin, kawan saya ini memulai. Dia adalah pemuda desa tepian sungai yang tak mudah dibekuk oleh pasang surut. Dia pernah melewati ramainya jaman kayu, ketika hutan diterabas demi menabung keuntungan material; zaman Emas Hijau. 

Dia pun pernah mengalami nasib supir perahu ketika perjalanan sungai Sampit-Mendawai masih dikelola segelintir manusia. 

Dua tahun sebelum kemarin, dia ingin memulai cara-cara lama mengelola hidup. Dengan semangat yang lebih baru. Mungkin juga dengan cara kerja yang lebih kini. Leluhurnya, terutama mamanya, adalah petani. Maka dia memulai itu dari sebuah pojok. Persis di hilir perkampungan, di hutan kecil itu. 

Kebetulan saja, saya adalah bagian dari permulaan ini. Menjadi teman yang mendengarkan atau mencari apa yang dibutuhkan. 

Saya produk pabrik bernama sekolahan, kayak kamu. Seringkali mudah sibuk membayangkan semestinya ketimbang bagaimana melakukan. Ya, betul. Saya tipe usang dari zaman keresahan yang disindir para femikir prohesif sebagai ongkang-ongkang kaki!

Oh iya, saya pernah mendokumentasikan beberapa cerita dari masa-masa awal datang dan hidup di sini. Tapi, kamu harus memeriksanya sendiri di lapak ini. Ya, biar konteks besarnya sedikit tergambar saja. 

Sebagai iklannya, mungkin bisa kamu kunjungi di Sampit-Mendawai: Kisah Pelayaran Off-Road. Atau mungkin, sebagai sedikit pengantar dalam produksi makanan, kamu bisa membaca di Makan Siang Sederhana, Tak Sesederhana Pencapaiannya. Dan masih ada yang lain.

Teman saya ini memulai dengan menyusun petak-petak kecil. Setiap petak mewakili jenis yang ditanam. Ada jagung, kacang panjang, terung hingga sawi dan kangkung juga tomat. 

Ada satu lagi petak untuk mencoba pertumbuhan sedikit padi ladang. Petak ini kelilingi oleh pepaya dan pisang. Tanpa membakar, tanpa menyemprot senyawa kimia.

Dia sedang mencoba keluar dari ambisi pertanian modern yang merasa patut melakukan apa saja kepada tanah demi produktivitas. Ambisi produktifitas yang telah menghilangkan batas antara siasat dan tujuan. Bukan saja merawat ketergantungan, ia menyeragamkan cara pandang. 

Jenis-jenis sayuran yang sempat dipanen dari petak kecil yang dulunya rimba kecil tempat bermain monyet di tepi sungai| Dokumentasi Pribadi.
Jenis-jenis sayuran yang sempat dipanen dari petak kecil yang dulunya rimba kecil tempat bermain monyet di tepi sungai| Dokumentasi Pribadi.
Seolah saja, tak ada senyawa kimia, tak ada pembukaan bercocok tanam. Fasis!

Dia tidak melakukannya sendiri. Persisnya, tidak ingin mengalaminya sendiri. Dia mengajak beberapa petani tua, termasuk mamanya. Juga beberapa rekan sebaya yang pada akhirnya lebih betah berada di luar petak dan tanah. 

Di petak-petak kecil itu, dia menumpahkan segala kemampuan yang mungkin diberi. Beberapa pelatihan dihadirinya demi mengumpulkan informasi. Ia sedang menyusun gambar yang lengkap dan benar di kepala. Pelan-pelan semua itu diterjemahkannya. Sesekali, ia membuat eksperimen sendiri demi menguji teori-teori dari ruang pertemuan. 

Tentu saja dia tidak sendiri. Dia bagian dari jejaring mimpi dan kehendak yang ingin melestarikan warisan hutan rawa gambut. Bedanya, ia maju di depan dan menguji gagasan-gagasan itu. Petak-petak itu juga bukan tidak diserang hama. Bukan tidak sepi dari terancam gagal, bahkan bubar barisan. Dia memilih bertahan dan tidak ingin kemana-mana lagi. 

Sesudah dua-tiga bulan berjalan, petak-petak tanaman nonbakar-nonkimia itu mulai menghasilkan. Ada panen sawi, kacang panjang lalu tomat. Beberapa warga desa datang ke kebunnya, membeli. Beberapa lagi datang untuk mengagumi. 

Petak-petak ini seketika menjadi keramaian kecil. Saya jelas ikut bergembira memanen dan mengabadikan gambar seperti orang-orang yang dikutuk membawa gawai sejak dalam kandungan.

Petak-petak itu rasanya telah pula membentuk penanda baru dari kehidupan di desa tepian sungai ini. Misalnya, kalau saya berjalan menuju hilir desa. Orang yang berpapasan di jalan langsung menebak, "Ke kebun Udin, Ji?" Demikian sebaliknya. Sebelumnya, apa yang disebut hilir desa adalah pos koramil.

Tapi, saya tahu, teman yang satu ini tidak mudah berhenti. Ia pembelajar yang tekun dan-yang paling top-tidak suka publikasi. 

Sesudah petak-petak itu panen perdana, ia memulai lagi siklus kedua. Kali ini, ia telah memiliki sumber bibit sendiri. Selain ada biaya yang dikurangi, ia pun telah mengumpulkan pengalaman dari siklus pertama. Saya masih ada di sana dengan fungsi yang sama: mendengarkan rencana-rencananya. Seperti orang sekolahan dengan nasibnya.

Dia juga menanam yang lain di lokasi berbeda. Dia ingin mencoba semua yang bisa memberikan sumber-sumber baru penghidupan. Mungkin juga semacam usaha untuk keluar dari penjara nostalgia zaman kayu dan mengurangi ketergantungan pada ambisi sistem produksi serba-kimiawi. Apalagi sejak kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, larangan membakar terbit dengan peringatan yang lebih keras. 

Saya kira, sampai hari ini dia telah berhasil menyusun langkah awal dengan baik dalam menulis sejarah baru pemuda dari tepian sungai. 

Saya, Juventini yang sedang memanen kacang panjang | Dokumentasi Pribadi
Saya, Juventini yang sedang memanen kacang panjang | Dokumentasi Pribadi
"Setidaknya, sekarang saya mengurangi konsumsi sayur dari kebun orang lain," katanya bersemangat.

Lantas, takdir sekolah membawa saya harus pergi ke Bumi Sriwijaya. Setahun di sana. Setahun sisanya dikurung pandemi di rumah. Baru menjelang akhir September 2020, saya disuruh kembali ke DAS Katingan. Buli ka Lewu! Saya gembira. Ini seperti pulang kampung saja.

Jadi kemarin sore, saya pergi ke kebunnya. Ini sudah kunjungan ketiga. Seperti biasa, saya datang selain memandang sekitar, mendengar kisah, mengambil gambar. Dan menuliskan ceritanya untukmu, iyaa, kamuu yang kelamaan dimakan kota-kota.   

Sekarang tanah di hilir desa ini bukan lagi deretan petak. Dua tahun sebelum kemarin itu, telah disusunnya menjadi sebuah kompleks pertanian skala kecil. Dia memang tidak lagi menanam sayur-sayuran seperti sebelum pandemi mengunci manusia di dalam rumah dan lebih waspada terhadap tubuh sendiri. 

Di tanah hilir ini, ia telah membangun rumah walet dari hasil menabung bertahun lama. Kotorannya adalah bahan untuk campuran pupuk organik. Ia juga membuat kolam kecil dan pagar paranet keliling sebagai tempat bermain belasan bebek dan itik. Lalu sebuah petak kecil untuk jagung yang mulai bertunas dan sayur kacang panjang. Ada satu baris untuk sayur kangkung di antara itu.  Foto di atas itu adalah penampakan faktualnya.

Belum lama ini, katanya, ada beberapa petani dari desa tetangga yang dilatihnya membuat bokasi. Mereka memang bagian dari jejaring.   

Sebuah rumah panggung dengan teras menghadap kebun itu dibangun di sampingnya. Rumah ini seperti pos pengawas. Tapi saya kira, ini juga rumah untuk menyepi. Tempat menyusun rencana-rencana tanpa banyak diketahui. Teman saya ini masih tidak suka terpublikasi. Ia selalu betah bekerja dengan senyap. Biar yang begini ini menjadi bagian saya saja, hihihi.

Saya gembira karena dia masih bertahan di jalan yang telah dirintisnya. Barangkali, dan semoga saja, dia selalu menemukan momentum untuk terus belajar dan berkembang. 

Beginilah cerita liburan saya di masa pandemi. Mengunjungi angan-angan yang menjadi kenyataan. #StayHealthy, kawan. 

Tabik!

***

(Catatan: Saya belakangan memasukan beberapa dokumentasi sebagai barang bukti dari kisah mengunjungi angan-angan ini karena ketika dipublikasi pertama kali, saya tidak sempat memasukannya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun