Sebagai iklannya, mungkin bisa kamu kunjungi di Sampit-Mendawai: Kisah Pelayaran Off-Road. Atau mungkin, sebagai sedikit pengantar dalam produksi makanan, kamu bisa membaca di Makan Siang Sederhana, Tak Sesederhana Pencapaiannya. Dan masih ada yang lain.
Teman saya ini memulai dengan menyusun petak-petak kecil. Setiap petak mewakili jenis yang ditanam. Ada jagung, kacang panjang, terung hingga sawi dan kangkung juga tomat.Â
Ada satu lagi petak untuk mencoba pertumbuhan sedikit padi ladang. Petak ini kelilingi oleh pepaya dan pisang. Tanpa membakar, tanpa menyemprot senyawa kimia.
Dia sedang mencoba keluar dari ambisi pertanian modern yang merasa patut melakukan apa saja kepada tanah demi produktivitas. Ambisi produktifitas yang telah menghilangkan batas antara siasat dan tujuan. Bukan saja merawat ketergantungan, ia menyeragamkan cara pandang.Â
Dia tidak melakukannya sendiri. Persisnya, tidak ingin mengalaminya sendiri. Dia mengajak beberapa petani tua, termasuk mamanya. Juga beberapa rekan sebaya yang pada akhirnya lebih betah berada di luar petak dan tanah.Â
Di petak-petak kecil itu, dia menumpahkan segala kemampuan yang mungkin diberi. Beberapa pelatihan dihadirinya demi mengumpulkan informasi. Ia sedang menyusun gambar yang lengkap dan benar di kepala. Pelan-pelan semua itu diterjemahkannya. Sesekali, ia membuat eksperimen sendiri demi menguji teori-teori dari ruang pertemuan.Â
Tentu saja dia tidak sendiri. Dia bagian dari jejaring mimpi dan kehendak yang ingin melestarikan warisan hutan rawa gambut. Bedanya, ia maju di depan dan menguji gagasan-gagasan itu. Petak-petak itu juga bukan tidak diserang hama. Bukan tidak sepi dari terancam gagal, bahkan bubar barisan. Dia memilih bertahan dan tidak ingin kemana-mana lagi.Â
Sesudah dua-tiga bulan berjalan, petak-petak tanaman nonbakar-nonkimia itu mulai menghasilkan. Ada panen sawi, kacang panjang lalu tomat. Beberapa warga desa datang ke kebunnya, membeli. Beberapa lagi datang untuk mengagumi.Â
Petak-petak ini seketika menjadi keramaian kecil. Saya jelas ikut bergembira memanen dan mengabadikan gambar seperti orang-orang yang dikutuk membawa gawai sejak dalam kandungan.
Petak-petak itu rasanya telah pula membentuk penanda baru dari kehidupan di desa tepian sungai ini. Misalnya, kalau saya berjalan menuju hilir desa. Orang yang berpapasan di jalan langsung menebak, "Ke kebun Udin, Ji?" Demikian sebaliknya. Sebelumnya, apa yang disebut hilir desa adalah pos koramil.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!