Satu lagi figur yang tersandera dalam ketegangan antara kompas moral hakim dan kompas moral kolonel Joll adalah seorang perempuan dari salah satu suku nomaden yang tinggal di sekitar benteng.Â
Perempuan muda yang mengalami siksaan hingga kakinya cacat oleh ambisi-ambis Joll, cs mengantisipasi pemberontakan yang cuma ada di kepalanya. Perempuan muda ini melambangkan ketakberdayaan sekaligus ketabahan yang sempurna. Oleh si hakim, dia dirawat dan dibawa kembali kepada sukunya. Â
Tiga karakter utama ini menampilkan konflik kuasa kolonial. Seperti bom waktu, implosinya dipicu oleh kesalahan-kesalahan yang dimunculkan sendiri. Kesalahan yang berakar pada cara pandang pemberadaban (civilization) yang cacat sejak diandaikan. Perkawinannya dengan sikap rasistik dan represifitas membuatnya tidak lebih dari pembiadaban yang menjijikan.Â
Apa yang disebut sebagai superioritas tuan penjajah tidak lebih dari pada daftar panjang penaklukan, dominasi dan pemusnahan suku-suku lainnya. Demikianlah WTB ingin bercerita kepada pemirsa. Semacam menghidupkan lagi peringatan zaman kolonial yang direkam Coetzee dalam novelnya tersebut.Â
Walau begitu, dalam tatanan kolonial yang busuk, WTB juga ingin mengingatkan jika saja tidak semua pejabat kolonial atau mereka yang Barat atau mereka yang berkulit Putih memiliki cara pandang terhadap tanah jajahan yang sama.Â
Tidak ada relasi otomatis antara perlakukan dominatif dengan golongan darah. Atau dalam bahasa lain, tidak ada hubungan langsung jadi dari ideologi penindas/pembebas dengan turunan genetika tertentu.
Sejarah antikolonial di Nusantara memiliki sosok seperti Eduard Douwes Dekker yang menegaskan fakta ini. Keberadaan sang Hakim di film ini.
Karena itu juga, Waiting for The Barbarians sedang menunjukan kembali keberadaan "colonial mindsett" yang memandang Timur sebagai semesta tak beradab itu adalah sumber dari disharmoni dan instabilitas. Di dalam mindsett tersebut, selalu ada retakan, selalu tersedia antipodenya.Â
Pada ujungnya, ia merangsang chaos yang lebih luas sebagai reaksi yang wajar. Reaksi antikolonial dan nonkooperatif. WTB dihantar menuju penutup dengan arus balik perlawanan dari suku-suku nomaden.Â
Teror yang mereka mulai dengan mengupas kepala salah satu prajurit dan mengirimkannya kembali ke benteng. Kolonel Joll, yang sok ningrat dan dingin itu, kabur ketakutan. Tuan kolonial bermental  pengecut ini menghindari konsekuensi dari yang dilahirkannya sendiri. Apa yang disebut sebagai "Spiral Setan Kekerasan".Â
Pada titik inilah, percakapan tentang relasi kolonial dan produksi pembiadaban tidak pernah bersumber dari luar tatanan. Ia diproduksi dan diawetkan oleh cara pandang kolonial itu sendiri; sesuatu yang tidak lagi baru dalam kritik-kritik Antropologi Postkolonial.Â