siang gerah, malam gigil
tabah bertahan di dua kutub bisu
nasib berkelakar di kolong rumah panggung
menjalar, menjadi laut. Pasang dan surut
orang-orang berikat-berakar pada hutan dan sungai
merampung hidupnya kedalam puisi atau nyanyi
aku pulang. menjumpai kenangan
dulu kutanam pada batang panjang dari jingah
tentang kamu dan luka-luka
yang menggenang bahaya di cakrawala
***
hari itu, kamu datang padaku
menghidupkan lagi ketakutan lama.
"Hidup kita akan bahagia-bahagia saja,
andai kau bersetia pada aturan-aturanku."
aku terlalu cemas untuk mengerti
masa depanku dibentuk ketiadaan
kamu pintar bicara, seperti lahir dari khutbah-ke-ghibah.
setiap kata adalah mantra. Titah dan dusta bertukar bedanya.
kamu terlalu canggih untuk dipahami.
aku masih saja cemas menyadari
kamu marah, pada suatu masa: mengapa aku tak boleh curiga?Â
api membakar tak meninggalkan sisa
ketakutan tumbuh lebih cepat
sedang keberanian tersekat di rongga dada,
danau kering tumbuh di kolam mata
ringkih dan kerontang. kamu beri api seperti kota-kota celaka.
ketiadaan terbang jadi udara. berpendar dia kemana-mana
kemalangan lahir berkali-kali, aku terbangun di setiap tangisnya.
hidupku tinggal sebatang jingah
terluka, merah dan ingin melukai yang tak lagi ada
(Mendawai/1020)
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H