siang gerah, malam gigil
tabah bertahan di dua kutub bisu
nasib berkelakar di kolong rumah panggung
menjalar, menjadi laut. Pasang dan surut
orang-orang berikat-berakar pada hutan dan sungai
merampung hidupnya kedalam puisi atau nyanyi
aku pulang. menjumpai kenangan
dulu kutanam pada batang panjang dari jingah
tentang kamu dan luka-luka
yang menggenang bahaya di cakrawala
***
hari itu, kamu datang padaku
menghidupkan lagi ketakutan lama.
"Hidup kita akan bahagia-bahagia saja,
andai kau bersetia pada aturan-aturanku."
aku terlalu cemas untuk mengerti
masa depanku dibentuk ketiadaan
kamu pintar bicara, seperti lahir dari khutbah-ke-ghibah.
setiap kata adalah mantra. Titah dan dusta bertukar bedanya.
kamu terlalu canggih untuk dipahami.
aku masih saja cemas menyadari
kamu marah, pada suatu masa: mengapa aku tak boleh curiga?Â
api membakar tak meninggalkan sisa