Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pirlo Seri, Conte Tumbang, Gattuso Bersinar dan Kamu Gak Usah Terburu-buru Dulu!

18 Oktober 2020   10:09 Diperbarui: 18 Oktober 2020   10:16 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada banyak persaingan tahun ini: banyak tim yang siap untuk menang, ini akan menjadi pertarungan dan kami perlu mencetak poin, tapi saya ulangi, kami sedang dalam pembangunan dan saya yakin kami akan segera kembali melaju." - Coach Pirlo, dari situs Juventus.com

Pasukan Pirlo dinihari tadi cuma bisa berbagi poin dengan tim promosi yang sudah menderita tiga kekalahan beruntun, Crotone.

Hasil imbang yang hampir saja gagal karena sejak menit 60-an bermain dengan 10 orang. Sang debutan yang lincah mengiris sisi sayap, yang juga anak dari salah satu penyerang terbaik di Serie A 90-an diganjar kartu merah. Padahal kolobarasinya dengan Morata dan Kuluvseski adalah sumber gol balasan sang Nyonya Tua. 

Federico Chiesa, nama penyerang itu. Ayahnya bermain bersama Veron, Crespo, Thuram, Cannavaro dan Gigi Buffon. Mereka adalah angkatan yang membuat Parma masuk ke dalam jajaran elite klub Italia. Sesudah era ini surut, Parma menempuh takdir medioker sampai sekarang.

Hasil tadi pagi juga menandakan ada yang hilang. Atau lebih tepatnya berkurang dari absennya Ronaldo, Ramsey dan McKennie. Sekurang-kurangnya, ini mengacu pada dua laga awal dimana Juve meremuk Sampdoria (yang kemarin mencukur Lazio dengan skor 3:0) dan terpaksa imbang dengan AS Roma. 

Terpaksa imbang dengan Roma? Ya, karena Nyonya Tua berhasil menahan imbang dengan 10 orang pemain di Olimpico pula. (Wahai kartu merah, jangan engkau keseringan mampir ke klub ini menggantikan cerita penalti yang memuakan itu!).

Ini baru 4 laga awal. 

Conte? Mengapa pria dengan emosi kompetitif ini dijadikan bagian dari percakapan Juventini sesudah giornata ke-4?

Tentulah karena pasukannya harus tumbang dalam "Derby della Madonnina". Skornya tidak telak tapi menunjukan Milan mungkin akan jadi pesaing terdepan dari perburuan scudetto musim ini. Pasukan Conte sejatinya tidak bermain buruk. Mereka masih kuat dalam penguasan bola. Mereka bisa menciptakan beberapa kesempatan bikin gol. 

Dari statistik yang dirangkum Whoscored.com, pasukan Conte lebih banyak melepas operan (446 berbanding 363) dengan akurasi lebih baik. Lukaku, dkk juga menciptakan 18 kali tembakan, berbanding 11. Tapi kemenangan bukan milik tim Biru-Hitam yang berharap kesuksesan bisa didaurulang dari duet yang pernah bekerja kepada Juventus: Beppe Marotta dan Conte. Sang Zlatan (yang kalau gak dibawa Juventus dari Ajax entah sebagai apa sekarang) dengan dua gol diganjar ratin 9,1 di laga ini, bahkan.

Gattuso? Demi mengapa?

Saya kira, Napoli jilid Gattuso tadi sore bermain dengan cara yang sedap dipandang. Melawan Atalanta yang sedang ngeri-ngerinya, Napoli tampil percaya diri, efektif, terorganisir dan  cantik. Operan-operan pendeknya asoi. Penguasaan areanya tertib. Pokoknya sip dah.

Kuartet Martens-Lozano-Politano dengan ujung tombak Osimhen tampil padu untuk menghancurkan. Khusus Osimhen, orang Nigeria yang bikin 18 gol bagi Lille di seluruh kompetisi pada musim lalu ini, tampil tenang dan mematikan. 

Bermodal kuat dalam duel udara, penetrasi dan kontrol bola, ia mendapat rating yang sama dengan Zlatan. Atalanta sampai terlihat buntu dimana-mana, gak tau mau ngapain. 

Baru Empat Laga, Bacot Miring Ditahan Dulu Lah...

Menyebut tiga orang di atas adalah menderet mantan gelandang yang kini bermutasi sebagai pelatih. Dengan pengalaman yang panjang di posisi ini semasa bermain, kita biasanya berasumsi mereka adalah tipikal yang memiliki cara pandang yang lebih jeli dari permainan ke permainan. Mereka adalah pemikir dari tim di setiap laga. 

Kita sepakati saja asumsi ini.

Perbedaannya, Pirlo jelas anak baru dalam sejarah melatih. Kebaruan itu bukan semata baru saja punya lisensi. Ia juga tidak memiliki musim sebelumnya dengan Juventus. Berbeda dengan Gattuso dan Conte yang bahkan pakai acara bertengkar dulu dengan manajemen Inter. 

Gak perlu ditegaskan jika semua orang juga tahu, bahkan rumput di Senayan yang sepi dari juara timnas itu juga mahfum, setiap sepak bola butuh waktu membentuk diri. 

Dua pribadi saja butuh bersama untuk mengikat senyawa atau chemistry, apalagi sepak bola. Makanya kamu gak usah berharap muluk-muluk dengan aplikasi kencan online, Mblo!

Pirlo (dan Tudor) bukan saja butuh waktu untuk "kembali melaju". Pirlo membutuhkan dukungan dan kesabaran karena improvisasinya sedang melibatkan banyak pemain baru. Ia bahkan lebih berani maju dengan memberi unsur anak-anak muda dari U-23. Ada tenaga segar yang dipadukan dengan warisan dari kombinasi lama. Beberapa dari warisan lama itu belum juga tampil bersama, seperti Dybala dan De Ligt.

Conte yang sudah pernah juara Italia dan Inggris saja masih harus keok di permulaan. Padahal ia sudah membawa pulang Vidal demi menambah lapar lapangan tengah. 

Tantangan berikutnya adalah "Waktu tidak memulihkan apa-apa, karena kita tidak sedang patah hati." 

Maksud aku tuh, waktu tetaplah sumberdaya, sesuatu yang sempat abai dari teori sosiologi sebelum muncul pikiran-pikiran Anthony Giddens. Ini kalau saya gak salah paham. Lebih persisnya, waktu adalah kesempatan. 

Maka Juventus masa pandemi atau semua tim dalam pertarungan melawan Covid-19 ini bukan saja tidak bekerja di masa normal. Di dalam sana, sepak bola adalah sistem besar bernama industri olahraga. Ada bisnis, ada olahraga dan ada aksi amal klub. Ada kamu sama aku juga.  

Saya tetap meyakini dengan sedikit data (yah, namanya juga orang baru mulai, masa sudah ditagih macam-macam), coach Pirlo akan memberi bukti bagi harapan-harapan. Yang paling saya inginkan adalah dia melahirkan kembali karakter lapar kemenangan dengan efektifitas dan keindahan yang pernah dia mainkan semasa menjadi jangkar dari permainan Milan pun Juventus. Sebagai sebuah sistem bermain.

Ringkas bla, bla, bla-nya, Pirlo bisa melahirkan filosofi Pirlo yang tak lagi dikenang sebatas sang Profesor lapangan hijau yang sudah meraih segalanya: juara Serie A, Champions League dan Piala Dunia. 

Juventus berlanjut jawara Serie A? Udah gak menarik. Kutukan kami hanya tinggal jawara Champions League-bwahaha. Buat saya, biar Milan atau Inter saja. Kasihan juga, mereka dengan segala rupa usaha transfer dan gonta-ganti pelatih tapi angan-angannya sama saja sudah terlalu lama bergulat dengan I-N-K-O-N-S-I-S-T-E-N-S-I.

Sejarah sungguh tak adil jika hingga satu dasawarsa dipestakan di Turin terus. Tapi, boong..

Maksud saya, mengutip Gianluca Vialli di sini, setiap tim yang bersaing di Serie A karena berambisi merusak superioritas Nyonya Tua makin menemukan cara dan senjatanya. Waktu dan rasa sakit akan memacu jiwa-jiwa terlukaah. Iya dong, mereka pasti belajar juga dari kesalahan-kesalahan. Masa iya salah tafsir melulu kayak negara?

Jadi, gak ada masalah dengan dominasi di Serie A dalam hukum dialektika yang sudah sewajarnya. Yang penting Mister Pirlo boleh menciptakan sistemnya sendiri, saya sudah happy.

Tabik!

#ForzaJuventus #FinoAllaFine

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun