Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Seharus Apa Pilkada Langsung bagi Hidupmu?

26 September 2020   09:18 Diperbarui: 28 September 2020   11:23 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya, sudah tak perlu lagi membicarakan apa urgensinya Pemilihan Kepala Daerah Langsung alias PILKADAL terhadap hidup kita. Iya, "kita" tanpa K jika kamu nanti bersepakat dengan bagian-bagian selanjutnya dari catatan ini. 

Urgensi itu terutama jika meletakkan prosesi tahunan buang-buang biaya ini di tengah ketakutan banyak orang (minus elite politik dan cukong-cukongnya, sih) melihat daftar korban yang diakibatkan pandemi Covid-19.  Yang paling celaka, kita bahkan masih tidak tahu sedang berada di gelombang ke berapa.

Satu-satunya yang jelas terpampang saban hari adalah negeri bekas koloni berjuluk Zamrud Katulistiwa Gema Ripah Lohjinawi, dll, dkk-nya masih saja menyediakan diri menjadi bulan-bulanan.

Suara-suara protes sudah terbit dimana-mana, bahkan sejak awal terhadap cara negara melawan pandemi corona. Mereka yang berjibaku di garis depan, para pahlawan yang mengurusi langsung para penderita Covid-19, bahkan sudah kehilangan kata-kata. Terakhir, dua ormas keagamaan yang mewakili suara muslim juga telah menyampaikan sikapnya. 

Gus Mus pun bersuara dengan ciutan seperti ini, Rakyat minimal yang diwakili NU dan Muhammadiyah telah meminta Pemerintah menunda Pilkada serentak. Tapi tampaknya pemerintah masih yang dengan kemampuannya menjaga dan menanggulangi dampak pandemi. Kita khawatir yang yakin hanya yang di Atas sana. Di bawah seperti dalam berita ini?

Kecemasan Gus Mus ditujukan untuk berita Polisi Tak Berani Bubarkan Konser Dangdut yang Digelar Wakil Ketua DPRD Tegal, Ini Alasannya. Akan tetapi, tidakkah politik selalu lebih bebal dari kesalahan-kesalahan manusia di dunia yang lain? Tidakkah dalam politik, tragedi kolektif memang dinasibkan bersenyawa dengannya? 

Politik memang selalu bisa menghiasi dirinya dari janji palsu harapan-harapan bahkan ketika segalanya telah berada di depan gerbang penghancuran diri.   

Dan kita tahu, ihwal biadab dari politik seperti ini adalah manakala para korban pandemi corona ini atau mereka yang terpapar dan mereka yang wafat lambat laun menjelma sebatas statisitk.

Kita jadi menambah daftar dari pertanyaan, jenis bertanya yang sudah usang sesungguhnya namun harus selalu diajukan sebagai warga negara. Seperti begini, misalnya.

Mungkinkah ada negara di sana? Jika yang dipertunjukan adalah seperangkat institusi dan orang-orang yang setiap hari menyampaikan pengumuman dan peringatan-peringatan; mengulang-ulang kedisiplinan pada protokol dan tetek bengeknya. Mengulang-ulang keprihatinan dan rencana prioritas, tapi tragedi tidak pergi kemana-mana. Apakah kita sedang berhadapan dengan seperangkat "politisasi" belaka? 

Tapi, barangkali bukan di sini masalahnya. Bukan ini saja, maksud saya tuh.

Masalahnya, yang tersirat di dalam laku seperti ini adalah seolah-olah segenap kesalahan yang menyumbang pada daftar panjang kemalangan dan kesedihan itu sesuatu yang demokratis: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat! 

Sumpah, kita adalah warga negara yang malang. 

Negara dan mereka yang tampak sibuk mengurusnya (jangan lupakan jika ini termasuk trias politika dan melampaui demarkasi pusat-daerah) selalu lebih tahu dari kita. Mereka adalah tubuh suci dengan mandat yang tak pernah ternoda, apalagi sekadar cacat. Rakyatlah sang pemilik tubuh yang cacat dan kehendak yang mesti selalu diluruskan. 

Terbaca sebagai taktik politik Orwellian di era pandemi?

Oke baik. Kita tinggalkan saja percakapan cemas dengan normativitas yang usang. Karena itu, mari kita bertanya kepada diri terdalam kita, dari sejarah hidup sebagai warga negara dengan perseteruan elite yang terus saja merasa bahwa kita tidak pernah paham apa yang sebaiknya bagi hidup kita sendiri. 

Mari kita bertanya, seharus apa Pilkadal bagi hidup kita di tengah situasi krisis seperti ini? 

Mereka yang sedang bertempur kuasa itu, sepenting apa bagi hidupmu? Apakah mereka cukup memberimu inspirasi dengan laku nyata yang menegaskan kekuasaan bukanlah perkara yang mesti dipertahankan mati-matian, sampai mesti diturun-temurunkan, "dikeluargakan"?

Atau jika ini terlalu filosofis, bertanya saja apakah selama ini, di kota yang kau hidupi sejak kecil dan berkeluarga, ketika zaman berpindah dari Orde Baru ke Reformasi, apakah politik telah membantu hidupmu menjadi lebih baik? Kamu berkembang sebagai warga negara yang bekerja dengan aman, bertetangga dengan bersahabat sebagai anak-anak bangsa? 

Maksudnya, politik berjudul pilkadal membuatmu bermakna, tidak sebatas kamu saja yang membuat politik bermakna dengan klaim-klaim tingkat partisipasi yang tinggi dan golput yang rendah, misalnya.

Atau jika bertanya semisal ini masih saja abstrak, maka bertanya saja: APA SESUNGGUHNYA MANFAAT POLITIK PILDAKAL BAGI HIDUP SEHARI-HARIMU? MANFAAT NYATANYA APA?

Dari segala keramaian arak-arakan, segala kibar bendera-bendara yang mengotori langit kota-kota, dari segala rupa pengumuman survey-survey, dari segala macam ekspresi dan kalimat-kalimat berulang di baliho-baliho, adakah hidupmu sungguh-sungguh dibicarakan di sana?

Adakah politik pilkadal sungguh-sungguh menjadikankanmu sebagai alasan dari kekuasaan yang bekerja melayani atau masih saja sebagai daftar angka-angka yang memberi syarat prosedural bagi berkuasa?

Tapi kan, kita tidak bisa berburuk sangka secara total. Selalu ada orang-orang yang bekerja keras untuk mengembalikan kekuasaan sebagai kesepakatan bersama untuk menyejahterakan dan memanusiakan manusia. Seminimal apapun, jenis yang seperti ini selalu disediakan sejarah. 

Tentu saja yang begini selalu ada, sebagaimana musim yang bertukar-tukar. Masalahnya bukan di sana. 

Masalahnya tetap saja bersumber pada bagaimana politik dan kekuasaan dirancang menghadirkan lingkungan yang sehat bagi pemunculan kandidat-kandidat negarawan. Bukan sekadar orang baik yang seketika terkunci dalam aliansi-aliansi yang terpaksa mesti dilayani. 

Demi stabilitas, demi keberlangsungan masa berkuasa. Orang-orang baik lantas mengulang yang sudah-sudah saja. Stag!

***

Kita memang tidak membicarakan akibat-akibat langsung dari pilkadal yang memaksakan pelibatan kerumunan di tengah pandemi corona. 

Membayangkannya saja sudah ketakutan di tengah fakta-fakta telanjang dari deretan angka yang kita baca setiap hari, kondisi nakes dan fakes yang menuju kolaps, serta tekanan-tekanan ekonomi bagi orang-orang kecil seperti kita yang terpaksa harus bekerja vis-a-vis pandemi, dan lain sebagainya.

Bahwa tidak ada negara dan masyarakat yang segera beradaptasi dengan krisis ini tidak bakal bisa menjadi jawaban yang memberi pembenaran bahwa kondisi yang terjadi di sini bukanlah yang terburuk. Wahai, jiwa-jiwa yang berkuasa tidakkah satu kematian saja sudah terlalu banyak?

Bahwa, pada dasarnya, barisan kewargaan selalu memiliki cara, selalu menemukan siasat untuk bahu membahu saling menyelamatkan di tengah kepungan pandemi, tentu saja adalah modalitas sosio-kultural yang luar biasa. 

Krisis boleh meluluhlantakan alat-alat negara; memaksanya tiba di lubang hitam disfungsi. Tapi tidak dengan warga bangsa, sekalipun negara berkali-kali mengkhianati mandatnya sendiri. Misalnya, dengan bebalnya memaksakan pilkadal.

Singkat kata, siapa sih yang sesungguhnya menikmati permainan bernama Pilkadal ini? Siapa yangs tengah dilayani maunya dan menyeret-nyeret warga kebanyakan sebagai mereka yang memiliki pesta demokrasi dan melanggar hak konstitusi jika tidak dilaksanakan? Heloooww.

Seharus apa sih pilkadal bagi hidupmu di tengah pandemi corona? Mengapa juga kita mesti ambil pusing?

***

(Mendawai, ujung September 20)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun