Pada awalnya, ini semata menghabiskan waktu luang.Â
Siang itu langit Malioboro terlihat mendung, cuaca Yogya memang sedang tidak ramah pelancong. Hujan sering berlangsung seharian, kata seorang supir taxi daring kepada saya. Kami bertiga, saya, seorang sahabat dan istrinya yang mengambil liburan singkat dari Manado saat itu sedang menikmati kopi Kenangan. Kopi dengan campuran susu dan gula aren yang sedang nge-hits di kota-kota, kabarnya.Â
"Klinik Kopi tak jauh dari sini." Sahabat saya akhirnya menyampaikan satu rencana mereka yan tertunda. Bersama istrinya, mereka memang menyusun rencana untuk menapaktilasi lokasi-lokasi yang menjadi tempat pengambilan gambar film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2). Berdua, mereka telah berkunjung ke Gereja Ayam yang terletak di bukit Rhema yang berdekatan dengan candi Borobudur di Magelang.Â
"Kereta ke Jakarta jam berapa?" tanya saya. Sekadar menduga jarak dan waktu tempuh. Padahal, saya juga gak benar-benar paham kalkulasinya. Hihihi.Â
"Jam 18:17. Gimana?"
"Iya Kak, kita ke Klinik Kopi saja." Yakin istrinya. Wajahnya sumringah.
"Ayok, berangkat," ajak saya,"Sepertinya masih keburu." Saat itu baru pukul 13.20 WIB.Â
Dengan fasilitas jasa transport daring, kami berangkat. Klinik Kopi yang terletak di Gang Madukoro, Jalan Kaliurang KM 7,5, Sleman. Saat berangkat, hujan turun sangat deras. Beberapa titik bahkan terlihat arus air meluap hingga ke badan jalan.Â
Memasuki Gang Madukoro, hujan mulai reda. Ada pohon bambu dan dua rumah yang bersambungan. Rumah yang pertama halamannya lebih terbuka dan segera terlihat serupa kafe.Â
Jendelanya yang ditutupi kaca bening berfungsi sebagai loket untuk memesan. Di depan jendela itu, ada papan berisi daftar menu. Juga ada beberapa kursi sedan ditumpuk karena hujan.Â
Sedang rumah yang satunya, di pagarnya, terpasang tulisan "Klinik Kopi, Cafe and Roastery-Open 04.00 PM - 08.00 PM. Closed Every Sunday". Bagi pengunjung yang baru datang tidak bisa langsung melihat jika rumah itu adalah Klinik Kopi. Rumah inilah yang menjadi target kami.
Tapi, belum buka...Â
Kami memutuskan untuk menunggu dengan ngobrol sembari ngopi di rumah pertama. Salah neorang pria keluar dan menawari untuk menunggu di sini. Â
Dia juga memberikan tiga buat kursi yang sudah dikeringkan jejak air hujannya. Kami masih belum sadar jika laki-laki bertinggi sedang ini adalah mas Pepeng, pria yang menjelaskan asal-usul kopi kepada Rangga di AADC 2.Â
Cerita yang lebih lengkap soal Mas Pepeng dan idenya tentang Klinik Kopi bisa dibaca di laman Kompas.com. Saya tidak akan mengulangi bagian ini karena memang tidak cukup waktu menggali informasi. Selain itu, kami terburu-buru.Â
Sesudah ngobrol yang kebanyakan membahas masa lalu, tibualah saat mengunjungi target yang semestinya. Klinik Kopi, kami datang!
***.
Pengunjung bisa lesehan dan menikmati kopi yang diracik sendiri oleh Mas Pepeng. Kami rempat ditegur dengan ketus olehnya karena tidak melepas sepatu dan menginjak lantai pendopo yang baru saja dipel.Â
Duuh. Sambutan perdana yang bikin ilfil, tapi kopi belum dicoba, ceritanya belum dirangkum dan apalagi kalau bukan foto-foto belum terkumpul. Haghaghag.Â
Sekilas, melihat desain tempat yang tidak besar dan terkesan dibatasi, saya lantas menyusun daftar dugaan. Klinik Kopi memang tidak diniatkan untuk sesuatu yang massal.Â
Waktu bukanya pun terbatas. Ini mungkin ekspresi dari idealisme pemiliknya, selain konsep eco-friendly. Kami menunggu sekitar 15 menit sebelum semuanya siap dan kami dipanggil masuk.Â
Dalam masa menanti ini, datang serombongan anak muda yang juga ingin menikmati kopi olahan Klinik Kopi. Rasanya seperti pasien yang mengunjungi dokternya. Tertib dalam antrian.
Ruang tempat Mas Pepeng menyiapkan kopi bagi pengunjugnya berisi sebuah meja yang dipenuhi toples berisi beberapa jenis kopi yang sudah roasted. Lalu ada sebuah mesin grinder dan wastafel untuk mencuci peralatan. Juga sebuah rak sedang yang berisikan kopi-kopi dalam kamasan.
Mas Pepeng kemudian menanyakan kami hendak mencoba kopi yang mana. Saya tidak ingat persis jenis kopi-kopinya. Selain bahwa ada dua jenis yang berasal dari Afrika dan sisanya adalah jenis kopi lokal. "Mau yang strong apa yang soft saja?"
"Soft saja, Mas," jawab kami. Saya sendiri bermasalah dengan kopi yang rasanya kuat. Jantung mudah berdebar dan kesulitan tidur.Â
Kopi yang kami piih lalu digiling dan diseduh dengan seksama. Sepanjang proses ini, Mas Pepeng membahas cerita-cerita di balik kopi sebagaimana yang ditampilkan dalam AADC 2. Cerita yang saya ingat adalah tentang kopi dari Temanggung--kalau tak salah-- yang sempat tidak ingin dijual pemiliknya. Kopi ini dikenal paling enak di sekitaran lokasi asalnya.Â
Setelah dicek ke pemiliknya, terang Mas Pepeng, kopi ini bukan tidak dijual. Tapi orang sering menawarnya terlalu murah. Sudah begitu, pemiliknya khawatir kopi hasil olahannya cuma akan rusak karena dipakai sebagai campuran susu, misalnya. Jadi, ada dua perkara mendasar bagi pemuja kopi di sini. Harga yang pantas bagi kopi terbaik dan tangan yang pantas mengelolanya menjadi minuman nikmat.Â
Ada perlakuan yang serius,yang dipelihara tatacaranya dari hulu hingga hilir. "Kalau dari hulunya beres, kopi apapun pasti enak, Mas." Tegas Mas Pepeng.Â
Dia juga cerita jikalau memburu kopi terbaik membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, ia juga harus jeli menelisik jenis kopi dan menjahit cerita dari para petani yang biasanya menyimpan rahasia dimana kopi terbaik bisa ditemukan. Dengan kata lain, dalam bahasa saya, dia harus memiliki sensitivitas terhadap kopi dan terhadap dunia sosial dimana kopi terbaik diciptakan.Â
Saya tidak langsung meneguknya. Saya menghirup aromanya tiga kali dan membenamkannya ke dalam dada. Segar. Sruuuup. Ada aroma coklat yang menonjol dan rasa asam yang pekat.Â
"Gimana Mas?"
"Terasa aroma coklat," terang saya. Pelan dan ragu. "Iya, coklat dan asam. Kopi kalau diurus bener, kayak begitu," kata Mas Pepeng. Ia meyakinkan jika penilaian lidah saya tak meleset. Sedang pada kopi yang diteguk sahabat saya, ada aroma vanili yang kuat ketika tiba di tenggorokan. Intinya, sedap. Kami puas pada rasa dan sedikit cerita.Â
Sebenarnya, saya masih ingin bertanya apakah interaksi Klinik Kopi dengan para petani sudah bisa dibayangkan sebagai sistem ekonomi yang saling menopang dan berkembang menjadi sistem budaya dimana nilai-nilai tertentu tentang kopi dilestarikan namun waktu tiada kuasa ditunda.
"Kalau mau foto, bisa nanti gantian Mas."Â
Hahaha. Akhirnya kami tiba di bagian kunjungan yang sama pentingnya. Foto selalu penting bagi kebutuhan konten, bukan? Bukan cuma alat bukti yang tak terbantahkan Bahia kita pernah datang ke sebuah tempat dan karena itu berhak atas cerita yang dituliskan. Celakanya, saya kesulitan memasukan beberapa foto kedalam artikel ini, hiks.
Kopi adalah juga kehadiran dari kerja dan cinta petani, pertarungan pasar dan pasang surut selera, serta bagaimana ia disajikan di ruang konsumsi urban.
Ini dalam pandangan terbatas saya. Dari kunjungan singkat yang tergesa-gesa.Â
[Kpg-Maret 2020]Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H