Tapi, belum buka...Â
Kami memutuskan untuk menunggu dengan ngobrol sembari ngopi di rumah pertama. Salah neorang pria keluar dan menawari untuk menunggu di sini. Â
Dia juga memberikan tiga buat kursi yang sudah dikeringkan jejak air hujannya. Kami masih belum sadar jika laki-laki bertinggi sedang ini adalah mas Pepeng, pria yang menjelaskan asal-usul kopi kepada Rangga di AADC 2.Â
Cerita yang lebih lengkap soal Mas Pepeng dan idenya tentang Klinik Kopi bisa dibaca di laman Kompas.com. Saya tidak akan mengulangi bagian ini karena memang tidak cukup waktu menggali informasi. Selain itu, kami terburu-buru.Â
Sesudah ngobrol yang kebanyakan membahas masa lalu, tibualah saat mengunjungi target yang semestinya. Klinik Kopi, kami datang!
***.
Pengunjung bisa lesehan dan menikmati kopi yang diracik sendiri oleh Mas Pepeng. Kami rempat ditegur dengan ketus olehnya karena tidak melepas sepatu dan menginjak lantai pendopo yang baru saja dipel.Â
Duuh. Sambutan perdana yang bikin ilfil, tapi kopi belum dicoba, ceritanya belum dirangkum dan apalagi kalau bukan foto-foto belum terkumpul. Haghaghag.Â
Sekilas, melihat desain tempat yang tidak besar dan terkesan dibatasi, saya lantas menyusun daftar dugaan. Klinik Kopi memang tidak diniatkan untuk sesuatu yang massal.Â
Waktu bukanya pun terbatas. Ini mungkin ekspresi dari idealisme pemiliknya, selain konsep eco-friendly. Kami menunggu sekitar 15 menit sebelum semuanya siap dan kami dipanggil masuk.Â