"He didn't see me as separate from himself!" - Nicole Barber, Marriage Story/Netflix
Dalam film dimana Scarlett Johansson, Adam Driver, dan Laura Dern berhasil masuk nominasi dalam perhelatan Oscar ke-92 ini, kita boleh melihat drama keluarga yang menyentuh, memaksa untuk merenung dan harus mengubah konsep tentang akhir nan bahagia.
Marriage Story (selanjutnya disingkat MS saja) ditulis dan disutradarai oleh Noah Baumbach. Sutradara kelahiran Brooklyn, New York ini pernah meraih nominasi Best Original Screenplay untuk film The Squid and the Whale (2005) yang bertema perceraian juga. Sepertinya, Noah memang spesialis dalam menggeluti tema-tema ini.
Pun dengan MS. Pada intinya film berdurasi 137 menit ini bercerita dua pasangan beranak satu yang bercerai. Pasangan itu Nicole Barber (Scarlett Johansson) dan Charlie Barber (Adam Driver).Â
Charlie adalah sutradara teater yang sedang meniti bintang terangnya. Sedang Nicole, yang pernah menjadi artis televisi, adalah salah satu pemain utama dari drama yang disutradarai suaminya.Â
Hingga pada suatu waktu, mereka tidak bisa lagi bersembunyi di balik kehidupan bersama dan tampak harmonis serta saling menopang. Termasuk di depan Henry, anak laki-laki semata wayangnya. Terutama Nicole, yang sangat berkehendak menyudahi pernikahan.Â
Pernikahan yang kini tinggal belenggu dan dalam batas tertentu merawat keterasingan.Â
Sedangkan Charlie tidak sungguh menyadari situasi psikis yang berubah. Charlie tidak cukup peka jika ia telah merawat ketidakbahagiaan yang membuat Nicole tiba di titik tak ada lagi kompromi. Lu-gue, end!Â
Celakanya, saat bersamaan, Charlie justru baru mendapat hibah dari MacArthur Fellowship. Nicole sendiri sedang merancang kembali karier di drama televisi dengan kembali ke Los Angeles.Â
Singkat kata, kedua sisi ini sedang bergerak terpisah pada saat kesuksesan sedang membentang jalannya.
Catatan ini sendiri hanya berusaha menunjukan aspek-aspek yang sekilas terbaca sentimental. Namun di baliknya, tersimpan isu-isu kunci dalam pernikahan yang oleh film ini dihadirkan begitu rapi.Â
Kita akan menemukannya dengan masuk ke dalam dunia batin. Khususnya milik Nicole. Nicole yang kompetitif, selalu peduli, dan terlibat pada sekitarnya.Â
Mari kita masuki pelan-pelan.
Pertama, berada dalam dunia yang sama setiap saat tidak membuat Anda dan pasangan saling mengenal dengan lebih baik.
Nicole dan Charlie adalah pegiat dari dunia panggung. Teater. Dunia yang butuh latihan berkali-kali dan penghayatan. Di dalamnya, ada yang bekerja menulis atau mengadaptasi naskah dan mengarahkan, ada yang menghidupkan naskah dalam pentas dan ada yang menjadi bekerja sebagai teknisi. Butuh soliditas dan kerja sama.Â
Tapi, bagi Nicole, dunia ini membuat Charlie yang kompetitif, mandiri-rapi bin teliti, dan sangat fokus itu menjadi dominan. Keberhasilan yang dicapai oleh teater lebih mewakili egoisme Charlie ketimbang penghargaan terhadap kontribusi Nicole atau yang lain.Â
Singkat kata, Nicole merasa hanya menjadi alat bagi ambisi-ambisi Charlie. Kita terus tahu, apa yang dibayangkan sebagai "prestasi diri" bagi Nicole bukanlah sesuatu yang penting bagi suaminya.Â
Mereka bekerja di dalam dunia yang sama, keseharian yang terikat namun dengan dunia batin yang tidak saling bicara. Ironis? Mungkin.Â
Kedua, hilangnya individu dalam kehidupan rumah tangga adalah bahaya laten.
Saya kira hilangnya individu inilah akar dari kemuakan Nicole. "I didn't belong to myself!" katanya penuh luka. Di satu sisi, kita melihat ini sebagai refleksi dari karakter Charlie yang dominan.Â
Namun di sisi yang lain, ini juga dimulai dari keharusan kompromisme yang dipilih oleh Nicole. Pilihan yang memang niscaya ketika kehidupan bersama sebagai manifestasi dari kehendak saling melengkapi bukan?
Lantas, bagaimana sampai hilangnya individu itu sangat memukul Nicole?
Aspirasi, mimpi, dan pencapaian diri yang begitu penting sebagai nilai hidup bagi Nicole tidak pernah mendapat dukungan yang memadai. Sebaliknya, di pikiran Charlie, apa yang telah dicapai mereka di teater jauh lebih sukses dibanding kehidupan Nicole sebelumnya.Â
Charlie bahkan melihat kariernya di drama televisi adalah contoh ambisi yang gagal. Mimpi yang absurd.Â
Walhasil, Nicole tidak menemukan dirinya di dalam rumah tangga yang telah melahirkan Henry. Nicole bahkan berkesimpulan jika dirinya tidak lebih dari alat bagi tujuan atau ambisi Charlie.Â
Kehidupan rumah tangga yang terlihat romantis di depan kolega mereka hanyalah kamuflase dari keterasingan Nicole dan dominasi Charlie. Tragis.Â
Ketiga, ketegasan dan martabat diri adalah segalanya.
Saya kira, ketika membebaskan diri dari "kontrol Charlie dalam teater" dan menemukan dirinya yang terasing dan murung, tindakan penting berikut dari Nicole adalah sekali keputusan diambil, ada martabat diri yang dipertaruhkan.Â
Sebab itu Nicole tetap saja menunjukan surat permohonan cerai kepada Charlie ketika datang membawa kabar gembira tentang hibah MacArthur.Â
Pun ketika Charlie masih setengah tak percaya dan masih bertanya-tanya, "Apa yang mesti kuperbuat?" Nicole tetap maju dan memilih berpisah sebagai sebaik-baiknya menyelamatkan mereka.Â
Lebih parah lagi, Nicole menghubungi banyak pengacara yang membuat Charlie kesulitan. Nicole ingin memenangkan hak asuh yang penuh dan pembagian harta gono-gini (sumpah! cewek kalau sudah sakit gigi, eh, sakit hati ding). Tak ada kata mundur sekalipun rasa kasihan seringkali muncul.Â
Bagaimana dengan Henry? Tidakkah seorang anak harus dijadikan "simpul terakhir yang menyelamatkan rumah tangga"?Â
Rupanya bagi Nicole (yang tidak memiliki PIL sebelum bercerai resmi dengan Charlie), kembali pada hasrat diri, aspirasi, dan harapan miliknya yang hilang itu jauh lebih penting. Nicole sudah tak bisa lagi berdamai dengan keterasingan sebelumnya.Â
Dalam dialog Nicole dan Charlie yang bertengkar dengan sengit, semua kemarahan itu terkuak. Demikian juga penderitaan psikis yang disimpan Charlie rapat-rapat.Â
Mereka saling menyerang motif dan kelakuan satu sama lain, kasar, dan berakhir dengan air mata. Menyesal, saling meminta maaf, tapi tak ada opsi untuk rujuk. Keputusan sudah diambil, mantan!
Keempat, kau mungkin yang tercinta, tapi mantan adalah mantan.Â
Ini adalah penggal terakhir yang menarik dari MS dimana sesudah putusan ditetapkan. Menuju penghujung, dikisahkan Charlie datang ke rumah baru Nicole yang tampaknya sedang berada di jalur yang bagus.Â
Jalur karier yang membebaskannya dari "bayang-bayangan Charlie". Charlie juga tengah berada di jalan karier yang cemerlang, ia akan tinggal beberapa hari di UCLA karena menyutradarai dua pementasan teater.Â
Lalu, di dalam kamar, Charlie menjumpai Henry yang sedang melatih membaca. Ia membaca surat kesaksian ibunya tentang sosok Charlie, mantan suami. Surat yang dulu digunakan untuk mediasi di antara mereka namun gagal karena Nicole terlanjur bulat dengan keputusannya.Â
Sejujurnya, surat ini berisi kekaguman dan cinta. Kesaksian yang memaksa Charlie terbata-bata. Sementara itu Nicole sedang menatap dari belakang. Sumpah, sentimental my friend! Tapi, tak ada lagi rujuk, walaupun di ujungnya Nicole berkata, "Saya akan selalu jatuh cinta kepadanya tak penting seberapa pun tak masuk akal."
Keputusan sudah tempuh dan tampaknya mereka kini jauh lebih baik dengan sendiri-sendiri. Secara karir maupun pemenuhan hasrat diri. Mantan adalah mantan, mblo!
Catatan Akhir
Dinamika konflik rumah tangga yang disajikan dengan alur yang tidak terburu-buru, konflik yang subtil serta karakter tokoh yang kuat seperti Marriage Story membuat film ini tidak bisa dinikmati dengan pikiran yang terbiasa dengan serba segera.Â
Penonton harus menyadari "isu kemerdekaan individu" dalam rumah tangga adalah perkara mendasar yang tidak terlepas dari relasi domestik dalam maupun dengan hasrat diri akan kehidupan publik.Â
Perempuan atau laki-laki berhak akan keduanya, entah sebagai dukungan bagi perjuangan diri maupun pengakuan sosial.
Bagi saya, Marriage Story memotret konflik "kemerdekaan diri" dalam pernikahan secara baik. Termasuk membuat akhir cerita yang menyentuh dari perpisahaan yang memerdekakan.Â
Saat itu, Nicole berlari kecil ke arah Charlie yang sedang menggendong Henry yang kelelahan. Tali sepatu Charlie terlepas. Nicole datang, membungkuk dan memperbaiki ikatannya. Kemudian masuk ke mobil dan berlalu. Charlie dan Henry pun melakukan yang sama. Semua telah baik-baik dengan dunianya.Â
Dalam Seni Mencintai, kau memang tak boleh jatuh cinta. Sebaliknya, berdiri di dalam cinta. Kata Erich Fromm, sih.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H