Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kekuasaan (dan) Para Manipulator

24 Februari 2020   12:06 Diperbarui: 24 Februari 2020   14:25 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: points.datasociety.net

- Kekuasaan memikat yang terburuk, merusak yang terbaik - Ragnar Lothbrok, dalam Serial Vikings

Kita terlalu sering menjumpai bagaimana kekuasaan bekerja minus hati nurani dan pertimbangan akal sehat. 

Sudah jelas-jelas ada kumpulan warga yang bersatu padu menolak kehadiran tambang karena mengancam sumber-sumber penghidupan mereka, kekuasaan tetap saja keras kepala. Bahkan membawa tameng dan senjata demi memastikan tambang itu berhenti menghadapi penolakan. 

Sudah bertahun-tahun mereka yang kehilangan orang-orang tercinta oleh karena perilaku represif negara menuntut keadilan di depan istana, tetap saja kekuasaan bekerja dengan telinga yang tuli dan mata yang (terpaksa) buta. Mereka yang kehilangan dan segenap penderitaannya hanya menjadi materi dalam janji-janji kekuasaan. 

Sumber Ilustrasi: points.datasociety.net
Sumber Ilustrasi: points.datasociety.net
Sudah bertahun-tahun rumah ibadah itu berdiri dan menaati konsensus lokal, ia tetap saja harus terancam ditolak keberadaannya. Sebagai minoritas, tanpa daya. Sedangkan kekuasaan yang sering menyebut diri sedang mewujudkan cita-cita keadilan untuk semua tetap saja tak berani hadir dan mencari-cari dalil pembenarnya.

Ternyata, menghadapi situasi (berulang) begini saja tidak cukup. 

Saat-saat sekarang ini, kita juga menghadapi keganjilan-keganjilan baru. Keganjilan yang diproduksi oleh mereka yang bekerja pada lembaga-lembaga yang seharusnya mengawasi kekuasaan bekerja. Paling tidak, mengerem daya rusak dari kekuasaan yang telah sejak lama dikenal berwatak Janus. Muka dua!

Maksudnya, kita tidak cukup memahami kekuasaan sebagai sistem operasi yang memiliki kapasitas menggunakan sumberdaya besar untuk mengeyampingkan warganya dengan dalih macam-macam. Ia bisa menggunakan mesin pembentuk opini, bisa menggunakan represi. Ia bekerja dengan gagasan atau pengawasan. Ia merawat yang ketakutan, memusnahkan yang melawan.  

Kita mungkin harus memahami bagaimana kekuasan memproduksi orang-orang yang kelak kehilangan nurani dan akal sehat. Kekuasaan dan produksi manipulator.

Siapa manipulator itu dan bagaimana kekuasaan melahirkan mereka? 

Mereka bukanlah orang-orang yang telah kehilangan nurani dan akal sehat. Mereka justru harus menghilangkan nurani dan akal sehat karena cuma dengan cara itu boleh ditampung oleh sistem operasi kekuasaan. Mereka tidak lagi sebagai baut dari mesin-mesin kekuasaan yang seperti teknologi, ia memiliki hukum geraknya sendiri. Mereka telah menjadi teknologi (bagi) kekuasaan itu sendiri.

Apakah pendasaran seperti ini tidak terburu-buru dan kasar? Maksudnya, tidakkah kekuasaan memiliki sisi yang demikian beragam dan selalu terbuka bagi kebaikan atau keburukan? Jadi, kekuasaan adalah potensi.

Kita tentu masih bisa percaya pada kekuatan "moralisme individu" sebagai pemungkin dalam kekuasaan sebagai potensi. Walau tidak banyak orang, kita masih mendapat kabar baik jika yang sedikit ini mungkin menyejarah. Di sejarah modern negeri +62 berflower, kiranya Gus Dur adalah salah satunya. Selain Baharuddin Loppa. 

Karena mendekati langka, maka membicarakan "moralisme individual" rasanya hanya akan berpusar-pusar pada nostalgia. Selamanya kita menjadi "kutipan" di dalamnya.   

Barangkali yang perlu ditanyakan adalah dalam cara bagaimana hubungan seperti ini bisa tercipta atau saling mengafirmasi?

Motif. Kita perlu curiga pada motif untuk kekuasaan. Tidakkah mereka yang menduplikasi diri sebagai teknologi (bagi kekuasaan) ini menghendaki kebanggaan diri yang meluap-luap. Juga keinginan pada prestise sosial, dan privilese. Mereka merindukan "kemewahan-kemewahan" khusus dimana mereka terlihat memiliki kualitas diri yang berbeda dari kebanyakan. Mungkin, pemilik jalan nasib yang tidak boleh dimiliki semua orang.

Mentalitas. Maka pikiran-pikiran yang membangun harap tentang kekuasaan bukanlah syarat utama, kalau bukan malah sekadar salin tempel dan pengulangan semata. Termasuk kualifikasi mental yang mumpuni sebagai pengelola kekuasaan. 

Mentalitas itu mungkin berakar pada kehendak untuk selalu terlibat dalam pengaturan. Ingin selalu, setidaknya merasa, sedang berada dalam pengaturan yang cuma bisa diakses oleh segelintir saja. Tapi para manipulator menggunakan ini terbatas ada tujuan-tujuan pendek dengan kemasan atau judul-judul (pseudo)moral yang besar. 

Modus. Bagaimana memahami para manipulator bekerja? 

Mereka selalu memiliki cara, siasat atau tak pernah berhenti memanipulasi apa saja agar bisa diakomodasi dan memenangkan kekuasaan. Manipulasi paling berbahaya sekaligus selalu rumit adalah taktik manipulasi psikis. Tidak semua bisa melakoni ini, apalagi melewati tahun-tahun dengan pasang surut yang intens. 

Manipulasi psikis ini pada tahap awal tentu saja dengan membangun kesan sebagai jiwa-jiwa yang setia dan patuh. Selanjutnya, menarik kepercayaan untuk menempati fungsi-fungsi tertentu yang bekerja sebagai teknologi bagai kekuasaan. Berikutnya, menjadi subyek yang terlibat mengatur dan memelihara siklus reproduksi yang dulu dilalui. 

Mungkin ada proseduralisme yang menyeleksi namun ini hanya sebatas "siapa menyepakati siapa?". Dalam tata politik yang terfragmentasi pada kelompok/geng/gerbong/oligark, proseduralisme itu sebatas menjalankan syarat formil. Berhentilah mengangankan meritokrasi.

Sedang bagi mereka yang berada di dalam siklus reproduksi begini menyebutnya "regenerasi". Selalu dan selamanya begitu. Lantas, dalam kekuasaan, apa yang tidak sah? Kekuasaan tinggal soal siapa mendapatkan apa. Para manipulator berusaha membuatnya tampak kekuasaan demi siapa! Seolah saja ada kehadiran yang melayani di sana.

Celakanya, mereka yang berada di luar sistem reproduksi ini melihatnya dalam kerangka normativitas yang usang. 

Tentang orang-orang yang terpilih dari sebuah negeri dengan masa lalu kejahatan kemanusiaan dimana-mana yang tidak pernah bisa dibicarakan secara jujur. Apalagi berani. 

Dalam bahasa yang lain, apa yang bekerja di dalam kekuasaan sebagai aksi para manipulator memang akan meluas pada arena sosial yang lebih luas. Perluasan serupa ini adalah keniscayaan sebagai: dengan apa lagi manipulator itu bertahan jika bukan dengan menciptakan kecanggihan manipulasi terus menerus?

Kita terus tahu ada mesin produksi opini dan citra di sana. Ada teknologi penyebar serupa social media dan kaki tangan berbayar yang menyiasati anonimitas. Jadi, bagaimanakah yang serupa ini dihentikan? 

Mungkinkah dihentikan sebab digitalisasi juga memiliki potensi "counter-politics". Digunakan untuk saja merekam dan mengabadikan dan juga bisa sangat kejam sebagai senjata menyerang para manipulator kekuasaan?

Satu yang terbayang (mungkin juga telah menjadi klise) adalah tetap menata kritisisme pada "skala mikro-politik". Pada kehidupan kelompok kecil yang memelihara kecurigaan pada produksi para manipulator. Pada kelompok kecil yang tetap meletakkan manusia sebagai nilai, tujuan bersama sebagai pandangan hidup. 

Ungkapan sederhananya: berusaha menjaga segenap diri dari kemerosotan akan gairah menjadi teknologi bagi kekuasaan. Tak perlu membangun kebencian nan absolut atau kemenjijikan level dunia-akhirat. 

Barangkali begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun