Dengan kata lain, catatan ini berjuang untuk menunjukan kekuatan penopangnya. Penopang yang menjadikannya menghibur sebagai komedi sembari menjaga kompleksitas alur cerita tidak membosankan atau terasa buru-buru tiba pada ending.Â
Perlu juga disadari sejak awal, walau menampilkan adegan kekerasan, The Gentlemen bukan jenis film kriminal yang merawat atensi penontonnya dengan brutalisme yang intens; brutalisme gaya Tarantino, misalnya.
Apa saja kekuatan penopangnya?
Pertama, kompleksitas dan kekuatan dialog.Â
The Gentlemen, bagi saya, tidak tersentralisasi pada bagaimana Mickey Pearson menjaga kerajaan bisnisnya di tengah serangan musuh-musuhnya.Â
Mula-mula, Mickey Pearson ingin dimengerti sebagai simbolisasi dari usaha manusia mencapai puncak kekayaan dan kuasa serta keberlangsungan aliansi yang menopangnya. Sesudahnya, ia lebih mirip sebagai arena, medan, atau ruang di mana motif, kehendak, konflik, kerjasama, krisis dan kehancuran berkelindan. Rumit.
Pelukisannya begini. Untuk menjaga imperium bisnis ganjanya, Pearson merawat aliansinya dengan barisan aristokrat yang hanya bisa hidup dari warisan.Â
Mereka memiliki perkebunan yang luas dan kastil yang membutuhkan biaya perawatan. Belum lagi biaya hidup, dll, dkk-nya. Pearson menjadi pemodal dengan imbal balik "konsensi hitam". Ia boleh menanam ganja di bawah tanah dari kebun-kebun itu.Â
Keamanan bisnis seperti ini terganggu karena dia berencana menjualnya kepada Matthew Berger, seorang kriminal papan atas. Ternyata, Berger memiliki motif penguasaan yang berbeda. Ia ingin mengambil itu tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Lantas, Berger memilih membangun aliansi tandingan diam-diam dengan Dry Eye, wakil gengster Tiongkok.Â
Dry Eye yang lebih muda ini memiliki ambisi yang lebih ekstrim lagi: memiliki kebun ganja sekaligus menjadi tuan baru dengan menyingkirkan semua rintangan Pearson serta Berger. Ini sumbu konflik di level atas gengster.Â
Ketegangan menjadi lebih seru dan kompleks karena terlibatnya kelompok-kelompok kecil yang berdiri di luar arena main utama.Â