"Dalam film ini (Birds of Prey), kamu akan melihat sisi Harley Quinn yang sangat berbeda, jauh lebih rentan yang membuatnya bertingkah tak menentu dan gila,"- Margot Robbie, CNN.Â
Dengan berkata begini, Margot Robbie yang memainkan karakter Harley Quinn sedang mengatakan bahwa penonton harus melepas kegilaan Joker dari ingatan.Â
Ini tantangan serius karena Birds of Prey (BoP) hanya bisa dibayangakan sebagai "tindaklanjut" Suicide Squad (2016) dalam proyek DC Extended Universe. Sekalipun, Joker yang diperankan Jared Leto sejujurnya tidak cukup pantas untuk dikenang.
Apakah ambisi melampaui bayang-bayang Joker ini berhasil-yang bikin saya sampai datang terlalu awal ke bioskop yang pintunya masih terkunci rapat, huhuhu- juga memuaskan imajinasi akan antihero yang "tak terduga"?Â
Catatan ini berusaha melihat ide dasar dari film yang disebut Ewan McGregor (hendak) melawan misoginis. Bukan saja dalam artinya yang ekstrim tapi dalam keseharian.Â
Saya ingin memulai dengan masuk ke dalam "radikalisasi kegilaan" sang mantan pemilik gelar Phd cum psikiater. Radikalisasi yang bersumber dari cerita patah hati.Â
Kemudian saya ingin menunjukan jika kegilaan ini digenapi oleh riwayat ketercampakan dari 4 karakter perempuan yang bergabung dalam perlawanan terhadap mafia Gotham.Â
Dengan menggunakan sudut pandang aktor utama, BoP dibuka dengan cerita Quinn tentang nasibnya yang dicampakan Joker.Â
Tak ada lagi alasan mereka bertahan sebagai sepasang kekasih yang ditakuti. Putus cinta dua penjahat legendaris ini jelas memberi pergunjingan warga dunia gelap Gotham. Tapi, terhadap Quinn, yang jauh lebih berbahaya adalah bukan aksi balas dendam dari mereka yang pernah mengalami perlakuan semena-mena.Â
Karenanya Quinn harus menunjukan dia mampu menghadapi transisi patah hati dan balas dendam dari musuh-musuhnya. Dia harus menjadi simbol baru sebagai dirinya sendiri dan melepas imej sebagai ex-partner sang raja diraja kejahatan Gotham. Usaha yang dimulainya dengan meledakan pabrik kimia yang menjadi monumen dari cintanya dengan Joker.