Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

"Beyond Ambyar", Mereka yang Galau Duluan, Ngertinya Kemudian!

12 Desember 2019   17:44 Diperbarui: 13 Desember 2019   17:18 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Godfather of Broken Heart | youtube.com/embed/zxCiKHMjtpA via idntimes.com

Sebab setiap kesedihan memiliki musiknya sendiri-sendiri. 

Sebelum Lord Didi mengheboh di kepala milineal, kita sudah pernah mendengar jika musik adalah bahasa universal. 

Ada kekuatan di dalam musik yang bisa menyentuh perasaan terdalammu tanpa harus tahu artinya apa, jika musik itu menggunakan lirik. Terlebih ketika menyampaikan nuansa tentang kesedihan, pengalaman kelam atau tragedi berulang yang lama-lama malah menjadi komedi gelap. 

Saya tidak tahu Yang Mulia Lord Didi pernah mengatakan hubungan yang seperti itu, tapi saya kira apa yang dibikinnya lewat lagu-lagu yang lagi mengharubiru dimana-mana itu berada di jalur yang sama. 

Saya bahkan percaya, setiap kesedihan adalah musik itu sendiri. 

Dan Lord Didi mengaransemennya dengan baik. Dengan kata lain, musiknya bukan lagi ekspresi dari kesedihan itu-musiknya telah menjadi semacam perayaan pada kesedihan.

Karena itu juga...

Jika musik menyediakan kemungkinan dan kesempatan menyelami pengalaman getir manusia, yang dhaif, yang rapuh, yang meweknya seperti gak pake istirahat; yang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya; yang sudah menggadaikan SK ASN ke bank, eh, malah kalah pengaruh karena target duluan dilamar pasukan berseragam, maka di tengah dunia yang kelelahan, dunia yang dilipat, yang terobsesi pada karir dan hidup sukses; yang digerakan oleh kuasa "Surveillance Capitalism",  musik sedih adalah sejenis interupsi!  

The Godfather of Broken Heart | youtube.com/embed/zxCiKHMjtpA via idntimes.com
The Godfather of Broken Heart | youtube.com/embed/zxCiKHMjtpA via idntimes.com
Maksudnya, musik sedih memang harus ditemukan agar manusia tidak mengalami kemalangannya sebagai persoalan matematik! Musik harus ditemukan agar manusia bisa luput dari ambisi untuk mengukur dan menghitung; ambisi terhadap serba jelas, masuk akal dan predictable. 

Sapiens tidak setangguh yang dibayangkan para pemuja citra diri Homo Economicus.  

Manusia memang menciptakan filsafat atau sastra (maksud saya, puisi saja) agar yang manusia itu bisa berbicara tanpa harus dibebani dengan rupa-rupa kategori yang disebutnya sebagai pencaharian akan status adimanusia dalam semangat pencerahan yang agung dan membebaskan-halah, ribet! 

Yang Mulia Lord Didi rasanya hadir untuk (sekali lagi) menunda kemenangan dari obsesi semacam ini. Obsesi para penakluk.

Lord Didi telah menampilkan itu di depan stasiun tv swasta nasional, telah menampilkannya di halaman kantor kekuasaan tertinggi, di hari ulang tahun partai politik. Demikian juga di festival-festival di mana campursari selama ini, mungkin, belum dianggap pantas. 

Deretan festival yang selama ini menganggap campursari hanyalah musik pesta perkawinan atau perayaan 17 Agustusan. 

Kini tidak lagi. 

Milenial yang konon dilahirkan dalam sejarah baru digitasi dan dunia yang serba terkoneksi telah menjadi hamba sahaya yang memuja pengaruh musik-musiknya. 

Mereka terlihat serupa "nomad digitalisme" yang berusaha mengakarkan kembili dirinya melalui musik sendu yang bertahan di tengah dunia dalam percampuran terus menerus. 

Nomad yang tidak ingin mengalami patah hati dengan sikap yang kaku, bahkan dipandang tabu sebagaimana pandangan khas generasi zaman perang atau sesudahnya.

Wis tak coba
Nglaliake jenengmu
Soko atiku
Sak tenane aku ora ngapusi
Isih tresno sliramu
 

(Sewu Kuto, Didi Kempot)

Musik Lord Didi dan Penghayatan "Outsider"
Masalahnya, yang jarang dibicarakan dari kehadiran Lord Didi yang bermusik dalam bahasa musik campursari Jawa adalah karena lagu-lagunya telah melampaui batas-batas tradisionalnya. Batas-batas tradisional itu bukan saja sesuatu yang bersifat teritorial. 

Namun juga lagu-lagunya telah menyeret yang berlatar belakang kultral bukan Jawa ke dalam pengalaman kesedihan yang unik.

"Bukan Jawa" yang bisa disebut di sini adalah sejenis kumpulan selera yang sebelumnya asing dengan musik-musik yang diproduksi melalui bahasa Jawa. Mereka lebih akrab dengan kesedihan yang diproduksi oleh musik yang berlatar Ambon, Manado atau Papua atau Nusa Tenggara Barat. 

Intimitas pada kesedihan yang seperti ini memang didukung oleh asal-usul lokasi kebudayaan dimana bahasa kesedihan itu bukan saja mudah dimengerti dalam sekali dengar. Lebih dari itu, ia telah menjadi semacam mesin waktu yang menuntun pendengarnya pada ruang dan waktu dimana pengalaman getir itu terasa begitu langsung. 

Sederhananya, patah hati kumpulan ini memang nyata dan lagu-lagu Timur yang sedih itu seperti video kaset yang memutarbalik kenangannya. 

Lalu bagaimana Yang Mulia Lord Didi bisa masuk dan mengacak-acak semesta kesedihan yang dibentuk oleh "sang Timur"? 

Kita tidak bisa segera mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang menarik dari perjumpaan seperti ini toh kesedihan dan kebahagiaan adalah dua sisi dari satu koin yang menjadi oksigen dari produksi lagu-lagu melo. Tidak seperti mendengarkan lagu-lagu Panbers--wih, tua amat!--yang lagu-lagu mereka bukan saja mewakili patah hati, memghidupi selera jelata. 

Tapi juga memiliki pengaruh yang tertancap kuat di wilayah Timur Indonesia.

Ini bukan semata problem pada media penyampai pesannya, terutama bahasa yang digunakan Lord Didi. Akan tetapi juga, dunia yang dihadirkan di dalam lagu itu (seperti stasiun, terminal, kota-kota) bukan sesuatu yang lekas terbayang. 

Termasuk membayangkan, seperti apa manusia Jawa mengalami patah hatinya. 

Seperti apa sih perempuan Jawa melukai kekasihnya? 

Karena itulah, kesedihan yang dihantar oleh musik Lord Didi harus dihadapi secara khusus. Ia membutuhkan perlakuan untuk mengendapkan pengalaman sedih itu agar nyambung dengan  pengalaman sejenis yang dibentuk dari ruang dan waktu yang berbeda. 

Misalnya begini. Dalam pengalaman seorang kawan.

Kawan ini adalah seorang yang dibentuk oleh pengalaman patah hati yang dipelihara ingatannya oleh musik nasional buatan Panbers, Koes Plus, dan Dllyod-sebut saja beberapa jenis yang diwariskan angkatan sebelumnya. Lalu grup yang belakangan seperti Kahitna, Java Jive, Dewa 19, Gigi, hingga Armada. 

Khusus terhadap Panbers, Anda bisa membaca bagaimana musik mereka menghubungan pengalaman pinggiran, dunia perantau dan kesedihannya di Musik Panbers, Pinggiran dan Perantau. 

Sedangkan, dalam konteks yang "lokal", pengalaman ini juga dipelihara oleh musik karya Black Sweet atau Black Brothers juga musik-musik dari seperti grup Nanaku. Dari dua kombinasi ini, sesekali bercampur dengan musik-musik yang lebih Barat dalam kesenduan. 

Singkat kata, kombinasi musik-musik ini  menghadirkan pengalaman patah hati yang seiring perjalanan waktu dan pemulihan luka-luka (aseek), ia malah memelihara ingatan pada tempat-tempat yang jauh dan orang-orang yang pantas dikenang. Apalagi menjadi perantau seperti kumpulan ini.

Situasi sedemikian jelas berbeda ketika menghadapi musik Lord Didi. 

Penghayat musik Lord Didi yang memikul beban sebagai "Outsider" terhadap Jawa harus menciptakan momen mediatif terlebih dahulu. Sekurangnya, ada dua momen mediatif yang harus diciptakan.

Pertama, menghadirkan suasana ambyar itu sebagai sesuatu yang sangat dekat, seperti hidup di dalamnya. Misalnya dengan mendengar dengan seksama irama dari musik Lord Didi dan bagaimana kesedihan itu dituturkan. 

Kedua, sesudah momen ambyar ini diresapi, mengalami proses "penubuhan", maka langkah lanjutan adalah mencari arti harafiah dari setiap kata-kata dan mendiskusikan dengan mereka yang berakar pada Jawa. Mencari makna dari kata-kata yang mengawetkan kesedihan, kangen tak berbalas dan cinta yang berantakan itu. 

Pendek kata, yang harus dilakukan justru mengalami ambyar terlebih dahulu baru mencari maknanya. Karena itu, lebih membutuhkan kesungguhan dalam penyerapan bahasa kesedihan dan irama sendunya (halah!). 

Dengan begini, rasa-rasanya, patah hati yang dijogeti bukan lagi hadir sebagai pengungkapan kembali rasa sakit. Ini lebih sebagai pertunjukan "Dancing in the Rain!"

Anda boleh bilang jika situasi ini tercipta karena ekses dari sesuatu yang sedang heboh (semata). Seiring waktu, segalanya akan kembali sepi atau dilupakan karena kehebohan baru. Sebagaimana kesedihan itu, akan sembuh oleh kesedihan yang lebih besar! Heuheu. 

Tapi poin pentingnya, apa yang dibentuk oleh pengalaman campursari sesungguhnya lebih luwes en santuy menghadapi dunia yang tengah diterkam oleh obsesi pada yang murni dan pada yang tunggal. 

Itulah sesungguhnya pengalaman "Melampaui Ambyar (Beyond)": Galau saja dulu, ngertinya kemudian! 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun