Manusia memang menciptakan filsafat atau sastra (maksud saya, puisi saja) agar yang manusia itu bisa berbicara tanpa harus dibebani dengan rupa-rupa kategori yang disebutnya sebagai pencaharian akan status adimanusia dalam semangat pencerahan yang agung dan membebaskan-halah, ribet!Â
Yang Mulia Lord Didi rasanya hadir untuk (sekali lagi) menunda kemenangan dari obsesi semacam ini. Obsesi para penakluk.
Lord Didi telah menampilkan itu di depan stasiun tv swasta nasional, telah menampilkannya di halaman kantor kekuasaan tertinggi, di hari ulang tahun partai politik. Demikian juga di festival-festival di mana campursari selama ini, mungkin, belum dianggap pantas.Â
Deretan festival yang selama ini menganggap campursari hanyalah musik pesta perkawinan atau perayaan 17 Agustusan.Â
Kini tidak lagi.Â
Milenial yang konon dilahirkan dalam sejarah baru digitasi dan dunia yang serba terkoneksi telah menjadi hamba sahaya yang memuja pengaruh musik-musiknya.Â
Mereka terlihat serupa "nomad digitalisme" yang berusaha mengakarkan kembili dirinya melalui musik sendu yang bertahan di tengah dunia dalam percampuran terus menerus.Â
Nomad yang tidak ingin mengalami patah hati dengan sikap yang kaku, bahkan dipandang tabu sebagaimana pandangan khas generasi zaman perang atau sesudahnya.
Wis tak coba
Nglaliake jenengmu
Soko atiku
Sak tenane aku ora ngapusi
Isih tresno sliramuÂ
(Sewu Kuto, Didi Kempot)
Musik Lord Didi dan Penghayatan "Outsider"
Masalahnya, yang jarang dibicarakan dari kehadiran Lord Didi yang bermusik dalam bahasa musik campursari Jawa adalah karena lagu-lagunya telah melampaui batas-batas tradisionalnya. Batas-batas tradisional itu bukan saja sesuatu yang bersifat teritorial.Â