Saya harus pergi dua kali ke bioskop untuk menyaksikan Gundala. Sesuatu sekali..Â
Pertama, ini bentuk perayaan atas produksi film pahlawan super yang berangkat dari karya-karya dalam negeri walaupun belum membaca Gundala dalam edisi komik karya Harya Suraminata.
Maka dari itu, sebenarnya ada yang hilang atau terputus dari imajinasi saya. Atau justru dalam posisi nol begini, saya malah "terselamatkan" karena tidak menyimpan nostalgia dari komiknya.Â
Saya bisa lebih bebas "mengembangkan tafsir".
Selanjutnya, dorongan kedua yang mengharuskan saya ke bioskop khusus demi Gundala (saya tidak pernah melakukan ini sebelumnya) karena kegemaran melihat motif-motif psikis dan daya dorong sosologi politik dari kemunculan seorang pahlawan super.
Tegas kata, menduga-duga konsepsi seperti apa yang bekerja ketika sesosok pahlawan super dikonstruksi lewat media sinematik.Â
Gundala, di tangan Joko Anwar, memiliki konsepsi yang mewakili keingintahuan saya. Maka saya memang pergi dua kali, duduk di deret paling belakang dan terdiam selama 123 menit.Â
Saya cukup puas dengan nuansa kelam yang dihadirkan pada kehidupan pabrik, kota dan anak jalanan serta kontras antara kehidupan jelata sengsara (yang mempertahankan pasar) dengan segelintir politisi (yang mengendalikan produksi regulasi bagi manusia banyak) juga musik latar yang memberi efek ketegangan lumayan maksimal. Pun dengan adegan kelahi-kelahi yang lebih mulus.
Selain itu, terutama bagaimana dunia yang kejam dikonstruksi dari kacamata Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan). Saya sukses merasakan kegetiran yang tidak seharusnya ditanggung seorang anak. Muzakki membuat Sancaka kecil berjuang tidak hancur ketika kasih sayang keluarga harus diabaikannya.Â
Hidup yang keras dalam nasib Sancaka ternyata berhubungan dengan sistem-sistem yang tidak manusiawi, seperti ketidakadilan dalam pabrik dan kehidupan jalanan yang saling memangsa.Â