Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Politik Pascapilpres dan "Cerita tentang Zaman yang Tak Tercatat"

16 Juli 2019   10:30 Diperbarui: 23 Juli 2019   07:33 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polisentrisme yang menataulang pengelolaan kekuasaan politik barulah satu kecenderungan yang membuatnya lebih lentur. Ada kekuatan digitalisme, kekuatan Artificial Intelligence yang membuat pengambilan keputusan tidak bisa semata-mata dilakukan dengan kompromi-kompromi yang mengawetkan "kecenderungan korup dari kekuasaan".

Ada teknologi media sosial yang barangkali keseringan riuh oleh peristiwa sepele atau skandal yang menghina kewarasan. Tetapi bisa tiba-tiba bersatu menggalang "aksi politik online" ketika kekuasaan menampakan tanda-tanda salah kelola. Bukan tak mungkin, aksi yang seperti ini mendorong massifikasi politik offline dalam skala besar dan memaksa kekuasaan negara bertekuk lutut, sekurangnya bernegoisasi. 

Bagaimanakah dengan militerisme sebagai kekuatan politik yang seperti tak pernah berhenti turut mengatur? 

Pilpres 2019 kemarin mungkin adalah salah satu panggung yang paling telanjang dari bagaimana kekuatan-kekuatan dalam tubuh militer (pun paska-militer) bertengkar secara terbuka. Beberapa pandangan, saya termasuk yang setuju, perseteruan di dalam faksi-faksi inilah yang sejatinya memiliki kemampuan untuk mengendalikan ketegangan. 

Dan yang begini ini tidak khas politik dunia ketiga saja, bukan?

Kita, yang konon masih berada dalam konsolidasi dan institusionalisasi demokrasi, ternyata masih harus membicarakan bagaimana kewargaan menjadi agensi politik yang berani menarik demarkasi dari negara sekaligus pasar (dua institusi pengatur yang sering disebut sebagai padanan dialektis dalam gerak tumbuh Civil Society) yang sehat.

Saya tidak tahu bagaimana persisnya. 

Termasuk tidak berani menawarkan sejenis "poli-sentrum politik" yang membangun dirinya dari kemajemukan agenda dan isu dalam bingkai besar Pancasila, seperti tawaran yang muncul dalam proposal New Social Movement misalnya. Semacam usaha menciptakan kontestasi nilai, gagasan dan agenda-agenda politik kebudayaan yang memberi ruang kritis dari kehadiran negara. Khususnya terhadap negara yang (kembali) mendefinisikan kemajuan dalam "takdir globalisasi". 

Saya belum tahu apa yang bisa diajukan sebagai "isi dari politik warga paska-pilpres".

Saya hanya merasa masih terperangkap di narasi zaman yang belum bergerak jauh: perihal pertumbuhan ekonomi, kemajuan dan globalisasi.

Dan juga, mungkin saja, sebuah ilusi tentang kemungkinan Civil Society yang kuat, entitas yang di negeri asalnya pun tak sukses melawan pelahiran politik identitas. Keberadaan Civil Society yang boleh memberi tekanan agar negara yang melayani kemanusiaan tidak berubah sebagai taktik kamuflase sebagaimana jamak dilakukan korporasi terhadap eksploitasi sumberdaya alam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun