Dua anak manusia di antara ambisi, kegilaan dan keberanian melawan diri sendiri. Dari mana sejarah (seringkali) ditulis.
Tanah Inggris, sekitar pertengahan abad-XIX. Atau bilangan tahun 1800an.
Seorang lelaki setengah baya harus melawan hidup yang dikejar-kejar rasa bersalah hingga membentuk rantai delusi tentang pembalasan dendam. Rasa bersalah dari sisa-sisa masa perang, dari mereka yang pernah ia lecehkan.
Dan dia hidup seorang sendiri. Hanya kematian atau kegilaan yang boleh membebaskannya.
Hingga pada suatu malam, ia terpaksa membunuh seorang ayah, lelaki yang lebih muda darinya. Delusi pembalasan dendam dari masa lalu adalah yang memicunya: wajah seorang tentara desersi yang pernah ditandai pipinya dengan besi membara selalu datang menuntut impas.
Kini, ia telah membuat seorang perempuan muda menjadi janda dengan anak-anak yang masih kecil.Â
Ia menambah daftar dendam yang baru, bukan saja menghadirkan duka baru. Ia makin terperosok ke dalam kubangan rasa bersalah yang berbahaya. Seperti keinginan untuk terus menyakiti diri sendiri sebagai aktualiasi dari penebusan dosanya.
Bagaimana mungkin, seseorang yang telah meluluskan diri dari brutalisme perang seperti lelaki ini boleh mengalami krisis diri sedemikian rapuhnya?
Tak bisa lain untuk menjawab tanya di atas. Sebuah rumah sakit jiwa atau tempat yang memadukan antara pengawasan dan kontrol terhadap jiwa-jiwa yang mengalami kekacauan kini disediakan sebagai laboratorium bagi penggalan cerita pendek hidupnya.
***