Kita tidak menikmati satu romantika yang lembut, yang melukiskan bagaimana lelaki dan perempuan terikat dalam satu perjuangan bersama. Khususnya saat melewati masa-masa krisis yang mengancam akal sehat hingga daya tahan kesetiaan. Setidaknya, ketika melukiskan perjumpaan keduanya, film yang turut diproduseri Donnie Yen ini bahkan tidak mampu mendekati 0,05% saja dari kisah perjumpaan pertama kali Ip Man dengan Cheung Wing Sing saat sedang belajar di St. Stephen, Hong Kong.
Terakhir, Master Z: the Ip Man Legacy juga tidak memberi kita pelukisan sinematik akan sebuah tradisi yang berusaha tetap tumbuh dan mewarnai perjalanan sejarah.Â
Maksud saya, kehadiran Master Z ini tidak berada dalam ketegangan antara nilai-nilai Asia Timur dengan negara polisionil Barat yang semena-mena. Sebaliknya, yang tampak adalah kehidupan di sebuah kota kolonial yang sedang terancam oleh perburuan kesenangan (kehidupan bar dan narkotika).Â
Karenanya, pada kota yang tumbuh dengan riwayat seperti ini, pelahiran sosok seperti Master Z tidak lebih dari sekadar penciptaan tukang pukul yang berusaha menjaga tatanan tidak jatuh pada kontrol kekuasaan hitam. Mungkin saja ada krisis kehidupan yang serius gara-gara narkotika tapi penonton tidak pernah dibuat merasakan visualisasinya. Jadi, Master Z adalah jagoan kota yang begitu-begitu saja.
Lantas, apa yang dia warisi dari mendiang Ip Man?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H