Ada yang berusaha tumbuh dalam kurun lima tahun terakhir, di dalam usia satu rezim politik.Â
Yakni produksi karya di Fiksiana, rumah dimana saya belajar "cara mengatakan yang tidak dikatakan atau semesta tak berhingga dimana saya belajar mengelola kegagalan".
Ini kata-kata yang saya pinjam dari Aan Mansyur.
Saya mulanya ingin merasa sentimentil.
Seperti menanggung perasaan lesu karena sesuatu yang berkurang atau sebaliknya, kerinduan yang lama terhadap kejutan-kejutan yang baru dan itu semua lantas menjadi pemicu menemukan lagi pengalaman-pengalaman yang tak terkatakan. Yang tak terkatakan dalam bahasa orang ramai yang basi. Seperti di media massa atau artikel opini yang berjibaku dengan produksi berita elite.
Jenis bahasa atau percakapan yang menghindari "Wacana Sisa (Residual Discourse)" dari pergumulan hidup anak manusia era modern.
Bagaimana persisnya cerita tentang "yang hilang itu?" atau perihal "minimnya kejutan baru?"
Tetapi saya yakin, sentimentalisme itu jelas akan terbaca idealistik atau kau bisa mengatakan sebagai kampungan dengan standar elite dalam urusan (menikmati) produksi fiksi. Â
Bisa juga mengatakan, "Kamu kayak lembaga sensor yang karena tidak memiliki kewenangan, menampilkan diri serius dan merumit-rumitkan sesuatu yang tidak ada gunanya dalam kehendak orang banyak."
Mungkin juga mengatakan, "Kau hanya tidak bisa melihat jaman berlalu dengan pertumbuhan tunas baru. Pemilik nostalgia yang mengenaskan! Lagi pula, apa hakmu memberi standar bagi jenis fiksi yang hanya ingin bergalau-galau dengan apa yang tidak mungkin dia peluk, dengan apa yang selalu membuatnya tak pernah utuh? Jangan jadi fasis!"
Saya terus membayangkan ini tahun makin sakit jiwa karena seteru politik hanya menegaskan berulang-ulang kali peringatan seorang "pembunuh Tuhan" yang sepanjang tahun hidup berpindah-pindah membawa penyakit: politik hanya membuatmu bermusuh-musuhan atau menjadi perkakas-dan fiksi kembali harus menjaga ruang kecil yang waras?