Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Cerita "Shadow", Monokrom Kekuasaan-Moral dan Perempuan

8 Desember 2018   14:54 Diperbarui: 8 Desember 2018   18:24 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Shadow/Ying (2018) | Sumber: hollywoodreporter.com

Shadow served their masters by bravely risking their lives, and proved their loyalty by embracing death. Absent from the annals of history, they lived their lives in obscurity and vanished without a trace.

Zhang Yimou baru saja membuat "Shadow" yang memberinya penghargaan pada perhelatan Golden Horse ke-55, di bulan November kemarin. 

Pada ajang yang diorganisir Taipei Golden Horse Film Festival Executive Committee, sosok yang juga membesut Great Wall (2016) mendapat penghargaan Best Director. Selain itu, mendapat juara untuk Best Visual Effect (Samson Wong), Best Art Direction (Ma Kwong-wing) dan Best Makeup & Costume Design. 

Shadow adalah cerita tentang perebutan kekuasaan dalam masa Ancient China. 

Zaman perpecahan monarki atau fase sebelum unifikasi. Zaman dimana kuasa kaisar sebagai simbolisasi dari persenyawaan yang duniawi dan ukhrawi berada dalam guncangan. 

Guncangan itu bukan saja karena ditentang lewat aksi yang menolak patuh (semisal: menolak bayar pajak, kerja bakti atau wajib militer) namun juga dalam wujud perencanaan kudeta yang rapi. Zaman yang dikenal dengan fase Tiga Kerajaan (Three Kingdom).

Shadow yang beralur mundur dibuka dengan adegan seorang perempuan yang berlari menuju pintu. Matanya terbelalak, menyimpan ketakutan namun berangsur-angsur berubah setelah melihat apa yang terhampar di luar ruangan. Dari situ, cerita mundur ke belakang, ke hari-hari sebelum ekspresi di depan pintu.

Latar belakang dimulai dengan percakapan raja muda Kerajaan Pei dengan menterinya, yang melaporkan jika komandan militer mereka, Yu, baru saja mengunjungi perayaan ulang tahun Jendral Yang di kota Jing. 

Si raja muda memutuskan untuk menunggu kedatangan sang komandan. Dalam masa menunggu itu, adik perempuannya sedang bermain ramalan dengan istri komandan. Meramal dengan menggunakan dadu yang dilempar di atas papan bergambar simbol Yin dan Yang atau Taoisme. 

Istri komandan itu membaca tanda dari hasil lemparan dadu. Yang intinya mengatakan, (situasi sekarang) ini tentang kekuasaan laki-laki. Tidak ada tempat bagi perempuan di sini.

Ramalan dari dadu itu juga ditafsirkan bahwa dalam tujuh hari, mereka (kerajaan Pei) akan memenangkan pertempuran. Musuh yang dimaksud adalah Jendral Yang, yang sedang menduduki kota Jing dalam 20 tahun terakhir. 

Dari ramalan ini, sejak awal, cerita Shadow berusaha memberi konteks politik dimana kerajaan Pei sedang dalam posisi yang tidak berdaulat. 

Termasuk secara tersirat terbaca dari kegusaran si raja muda manakala mengetahui panglima militernya pergi menemui Yang. Kota Jing yang penting bagi mereka bukan saja berada dalam tangan kuasa yang lain. 

Ada kesan, di bawah kepemimpinanya, kerajaan Pei tak memiliki daya untuk melawan. Aliansi yang dipelihara hanyalah masa damai bagi para penakut. 

Kunjungan sang komandan adalah untuk menantang duel jendral Yang dalam tiga jurus. Sebuah cara mengambil kembali kota tanpa mobilisasi pasukan. Yang setuju. Raja gusar tapi bagi sang komandan, segalanya sudah terjadi, biarlah terjadi. Dia bahkan bersiap menerima hukuman.

Tak ada hukuman, raja hanya ingin melihat dia berduet dengan istrinya memainkan kecapi. Pentas duet yang tidak pernah terjadi. 

Pasalnya, sang komandan yang ahli bermain musik sesungguhnya bukan sang komandan. Yang hadir saat itu dan yang menantang duel tiga jurus Yang adalah sang bayangan. 

Sang bayangan alias orang yang menyerupai dirinya dan memainkan peran yang telah digariskan. Sedang sang komandan sendiri, secara fisik tidak lebih dari sosok kerempeng yang sakit-sakitan di ruang rahasianya. 

Selanjutnya, cerita akan berjalan dengan mengungkap rencana sang komandan yang mengatur semua dari sebuah ruangan rahasia di dalam istana. Terutama bagaimana ia mengkader si bayangan agar menguasai teknik melawan yang ampuh dalam mengalahkan Yang. Sebuah teknik yang lembut dengan senjata berbentuk payung. 

Akan tetapi, sang komandan tidak sekadar ingin mengambil kembali kota Jing yang sangat simbolik itu. Dia juga ingin menghabisi pasukan Yang, termasuk anak lelakinya. Selanjutnya, dia menata siasat menggulingkan kekuasaan sang raja.

Si raja sendiri sebenarnya memiliki "counter-strategy" dan memahami ada siasat yang lebih berbahaya dari pada merebut kembali kota Jing. Celakanya, strategi tandingan itu malah mendorong percepatan benturan berdarah. 

Semuanya dimulai dengan keputusannya untuk menjadikan adik perempuannya sebagai calon istri dari anak jendral Yang. Tawaran yang diterima namun sebagai selir, bukan yang pertama. 

Apa yang terjadi selanjutnya hanyalah kekacauan berdarah! Pergerakannya seperti berikut ini.

Komandan Yu bukan saja melatih sang bayangan agar sukses mengalahkan jendral Yang yang beringas, cepat dan memiliki tenaga besar-seperti perlambang dari unsur maskulinitas.  

Sang bayangan harus menjadi "kontra-posisinya" Yang, yang secara sempurna dipraktikan oleh istrinya. Istri yang kemudian jatuh cinta kepada sosok bayangan (sejenis Nameless dalam Hero yang juga dibesut Zhang Yimou?)?

Saat bersamaan, dia menugaskan salah satu bawahan kepercayaannya untuk melakukan sejenis "Blitzkrieg" alias Perang Kilat. Dengan memobilisasi satuan yang bergerak cepat dan menyerang ke inti pasukan saat hari gerimis. 

Di dalamnya, tak disangka-sangka, adik sang raja ikut serta karena merasa harga dirinya dihina. Serangan ini berhasil membunuh anak jendral Yang namun juga menumbalkan adik raja-peristiwa yang sudah diingatkan oleh ramalan dadu tempo hari. 

Seperti apa akhir dari cerita Shadow? Akhir dari kekacauan berdarah itu? 

Catatan Pinggir: Kekuasaan, Moral dan Perempuan

Shadow adalah film drama berlatar sejarah yang berpusat pada perebutan kekuasaan yang digerakan oleh mereka yang dipilih sebagai bayangan alias peran pengganti. Mereka yang sejatinya tidak memiliki ambisi terhadap kekuasaan tersebut. 

Ambisi yang muncul bersamaan dengan "desakralisasi terhadap eksistensi kaisar" dalam klaim representasi kuasa langit.

Film ini memberi kita visualisasi yang artistik dan koreografi yang indah melalui nuansa yang serba hitam putih atau kelabu; semacam monokrom. Pun kostum yang digunakan. Segalanya tampil hitam putih atau kelabu.

Dominasi warna yang seperti ini seolah memberi impresi kuat tentang wajah kekuasaan yang gelap, yang bersembunyi di dalam ambisi berkuasa dan adu taktik yang menyamarkan diri lewat ketaatan palsu. 

Latar monokrom ini juga memberi imej perihal tidak ada yang bermoral dalam kekuasaan. Apalagi tengah berada dalam ketegangan dan benturan. 

Semua pihak yang menjalani perebutan tersebut berdiri dalam idealismenya sendiri-sendiri yang absah dan pada akhirnya akan menjadi "moral umum" ketika memenangkan perebutan. 

Komandan Yu menolak taktik aliansi dan masa damai, raja muda Pei memilih sebaliknya. Tidak ada yang benar selama tidak mengalahkan satu sama lain. Lantas, dimanakah keberadaan rakyat? Hampir tidak bisa dihitung dalam situasi implosi monarki yang seperti ini. 

Sejarah ditulis para pemenang, bukan?

Walau begitu, jika kita melihat Shadow dari sudut pandang siapakah subyek yang kelihatan tidak berperan, samar-samar dalam kontribusi terhadap benturan, namun sejatinya memenangkan perebutan ini? 

Ketika kita diberitahu adanya ramalan di pembuka bahwa saat sekarang adalah kuasa maskulinitas; bahwa untuk menghadapi level kungfu Jendral Yang, sang bayangan justru harus belajar pada istri si komandan (yang kemudian menjadi selingkuhannya); ketika sang bayangan kembali ke istana lalu membunuh tuannya, lantas menjadi satu-satunya yang lolos dari prahara berdarah-atau berhak menduduki tahta? 

Tak lain, sang istri komandanlah yang menjadi juaranya! Kelembutan membawa dirinya ke puncak dari ketiadaan tatanan lama.

Dengan kata lain, mereka yang pada mulanya terlihat sebagai obyek dari konspirasi kini berbalik menjadi subyek yang memenangkan ujung dari perebutan kekuasaan yang berdarah-darah itu. 

Berbeda dengan sosok perempuan dalam Curse of the Golden Flower (2006) yang menjadi aktor intelektual kudeta namun harus menjadi bagian dari yang dihancurkan. Film ini juga digarap oleh Zhang Yimou. 

Kreativitas dingin Zhang Yimou membuat Shadow sukses menunjukan sisi artistik dari politik yang kelam. Mungkin juga feminin.

Tabik!

***  

Sumber yang dirujuk ini dan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun