Mari kita mulai dengan keprihatinan faktual yang seperti ini.
Ketika kita diperhadapkan dengan begitu banyak kasus-kasus kekerasan, diskriminasi, hingga benturann atas nama agama, banyak orang lantas teringat Gus Dur, lalu berujar pelan, seandainya masih ada manusia yang satu ini. Orang-orang kehilangan pejuangnya, akan selalu kehilangan, sebab kekerasan, diskriminasi, penghancuran kemanusiaan agaknya belum akan pergi dalam perjalanan negeri ini.
Gus Mus bilang jika Gus Dur bisa dicintai oleh banyak orang sebab ia mencintai orang banyak. Ia, karena cintanya itu saya kira, berani melawan arus: pasang badan menghadapi segala sesuatu yang mengancam keberadaan orang-orang, terutama mereka yang lemah, minoritas, dan yang mengalami ketidakadilan. Sendiri atau ramai, ia akan menghadang segala macam perbuatan yang mengancam kemanusiaan tanpa pandang bulu.
Cintanya kepada kemanusiaan tanpa tawar menawar. Perjuangannya bagi kemanusiaan bersama tak pernah gentar. Ini poin pertama yang saya beri tinta tebal dalam ingatan.
Hal kedua, Gus Mus berbicara sebuah perbandingan. Bagaimana perbedaan zaman melahirkan generasi pendakwah. Lebih persisnya kritik terhadap kekinian yang berkaitan dengan "instanisme".
Gus Mus menyentil maraknya trend, sebut saja, "Mendadak ustaz". Katanya sekarang, banyak ustaz yang terlanjur terkenal sebab itu ngajinya tidak diteruskan. Popularitas begitu mudah mengambil mereka yang ngajinya baru sampai pada membaca terjemahan.
Beda dengan Gus Dur, atau kebanyakan mereka yang telah mencapai maqam Kiai di NU, ngajinya kemana-mana, berguru pada banyak guru, dengan disiplin keilmuan yang bertingkat-tingkat dan memakan waktu yang lama.
Tapi kok masyarakat Indonesia sepertinya terus butuh dengan kehadiran segala yang serba instan? Kini bukan hanya makanan, kesadaran pun membutuhkan menjadi serba instan.
Dari sini, dari "kebutuhan pada yang serba instan terhadap hidup yang tidak melulu hitam putih atau sendu-sendu selalu", kita akan melihat dimensi yang ruhaniah dari cara Gus Dur yang jauh dari peliputan dan sorot kamera.
Mengulang bahasa Gus Mus, yang disampaikan sembari berkelakar, "Orang Indonesia masih senang dunia, jangan disuruh bersikap hidup sederhana dan mengendalikan hasrat duniawinya dengan menempuh prosedur laku spiritual atau zuhud."