Tulisan ini hanya ingin mengenangkan kembali. Di dalamnya termuat keharusan membaca kembali sesosok Gus Dur. Membaca-ulang Gus Dur dari sudut pandang atau tafsir dua tokoh yang begitu dekat dengannya. Membaca sisi yang mungkin emosional atau justru spiritual.
Saya teringat tahun 1999, di perpustakaan masjid kampus yang jauh dari Jakarta. Tahun sesudah Soeharto turun.
Kami yang saat itu berkepala botak menyimak siaran televisi. Menyaksikan bagaimana penghitungan suara pemilihan presiden. Gus Dur unggul. Kami berpelukan erat, senang, tak mengerti politik. Kami baru masuk kuliah.
Sesudah itu, saya teringat jika buku pertama yang saya beli di tahun awal kuliah adalah Tuhan Tidak Perlu Dibela, terbitan LKiS. Saya pun membeli buku Prisma Pemikiran Gus Dur yang diterbitkan penerbit buku Kompas.
Semua itu di tahun 1999, tahun permulaan Gus Dur menjadi presiden. Saya membaca pelan-pelan buku itu-dan kini mereka telah raib karena kebodohan sendiri: percaya bahwa orang yang meminjam akan mengembalikan-bersama pengertian yang compang-camping.
Kosa kata masih terbatas, sistem pengertian masih sederhana-bahkan sampai sekarang!
Saya memang menaruh hormat yang tinggi kepada Gus Dur.
Bukan saja sebagai seorang tunanetra pertama di Indonesia-negeri yang konon mengadopsi prinsip semua warga negara setara dihadapan hukum-yang bisa jadi presiden. Ia mengangkat harga diri kaum difable di negeri ini.
Belakangan, sesudah ketemu beberapa senior yang hidup dalam kaderisasi Gus Dur, saya jadi makin paham jika beliau adalah sang "Central Planner". Yang memungkinkan perjumpaan Islam Indonesia dengan modernitas Barat berdialog secara damai tanpa kehilangan sikap kritis. Sementara di lokus peradaban lain, perjumpaan Islam dan Modernitas (Barat) adalah akar dari ketegangan, krisis dan perlawanan hingga sekarang ini.
Gus Dur juga adalah sang Central Planner yang memberikan kondisi-kondisi yang memungkinkan (condition of possibilities) agar anak-anak muda NU khususnya bergaul dan percaya diri di hadapan kekayaan pemikiran dan gerakan yang datang dari luar pesantren.