Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Wahai Suporter Timnas, Bersatulah dalam Tabah!

20 November 2018   11:08 Diperbarui: 20 November 2018   15:06 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas adalah bertindak dzalim jika menyalahkan apalagi sampai menuliskan sumpah serapah karena hasil yang diperoleh tim nasional di ajang Piala AFF edisi 2018, sekalipun kesal memenuhi ubun-ubun. 

Om Bima Sakti tidak layak disalahkan. Om Bima hanyalah korban dari keputusan. Lebih dari itu, korban kesekian dari mazhab Instanisme, katakan saja begitu, yang demikian pejal.

Kita semua tahu jika buah kerja Luis Milla telah membentuk karakterisitik yang membuat saudara sebangsa-setanah air-setumpah darah bergembira melihat timnas bermain. 

Mereka bukan saja menyerang dan bertahan dengan tidak bikin malu, mengumpan dan mencetak gol dengan terencana. Mereka juga memiliki daya juang kala membangun "perlawanan terhadap ketidakmungkinan".

Semuanya ini dilakukan dalam masa yang singkat-hanya setahun!-dengan pengetahuan yang terbatas akan sepakbola di sebuah negeri bekas kolonial. Bersama perbedaan bahasa yang bisa dilampauinya.

Dan kita tidak boleh lupa jika timnas relatif tidak "memakan biaya" besar karena tidak sibuk ujicoba di luar negeri. Tidak mengirim tim yang berisi anak-anak muda untuk dicangkokan pada kultur sepakbola Eropa atau Latin, seperti zaman Om Bima Sakti serta dua asistennya dulu. Di Italia, bersama tim Primavera, tahun 1993.

Om Bima Sakti pun tak buruk-buruk amat saat masih bermain. Terutama ketika baru saja pulang dari Italia. Saat-saat itu, saya adalah remaja yang selalu menunggu dan kagum melihat mereka bermain dengan sistem kuncian gaya Italia. 

Bima Sakti dan Luis Milla | SuperBall.ID - BolaSport.com
Bima Sakti dan Luis Milla | SuperBall.ID - BolaSport.com
Khususnya Om Kurniawan Dwi Yulianto, yang membuat kagum pelatih Sampdoria saat itu, Sven Goran-Eriksson. Sosok yang kini akan mereka hadapi sebagai sesama pelatih di ajang AFF 2018.

Saya juga termasuk yang selalu mencari perkembangan terkini dari alumnus Diklat Salatiga bersama klub FC Luzerne di liga Swiss dengan menanti giliran membaca tabloid olahraga yang baru saja mengumumkan kematiannya itu. 

Selama tahun 1994-1995 di Luzerne, Om yang dijuluki si Kurus ini hanya bermain 12 pertandingan dan membuat satu gol. Gol sebidji yang membuat dirinya menjadi orang Indonesia pertama yang mencetak gol di liga Eropa. Om Kurus waktu itu masih berusia 19 tahun.

Tapi, Om Bima dan dua kolega eks-Primaveranya bukanlah Jose Mourinho yang memulai karir pelatih sepakbola dari penerjemah selain belajar di sekolah olahraga. Terlalu jauh levelnya dengan Luis Milla.

Walhasil, sebagai masyarakat suporter timnas, sekali lagi kita dijejali dengan ilusi juara. Seolah saja sepakbola kita baru lahir minggu kemarin dan, yang tak kalah penting, dihidupkan dari rumpun mentalitas Abrakadabra!

Om Bima jelas masih butuh waktu yang lama untuk dipandang pantas menyandang gelar murid langsung Luis Milla, bukan sekadar asisten yang kemudian menjadi sasaran kekesalan supoter. Sekali lagi, Om Bima hanya korban dari kultur kerja organisasi PSSI yang bermimpi juara dengan jalan potong kompas.

Persoalannya kemudian, apakah suara-suara warganet akan berdampak pada perubahan yang menyeluruh? Atau lebih persisnya, perubahan apa yang belum disuarakan?

Pembinaan pemain muda? Sudah bosan disuarakan! Kompetisi yang tertata dan profesional? Sama membosankan! Mengulang sistem cangkok sepakbola? Tidak banyak berguna, buang-buang biaya saja.

Memakai jasa pelatih level World Class: juara sebagai pemain dan sebagai pelatih? Baru sekali ini dan gagal berlanjut! Tak mampu bayar gaji, melanggar kontrak, dll, dsb. Duh.

Lantas haruskah aksi boikot bertagar #KosongkanGBK dimassifikasi? Terus dimana nasionalisme kalian?

Nanti dulu. Kita semestinya menyadari ketika kerja besar tidak pernah lahir dari jalan melompat pagar. Maksud saya, terlalu ingin menikmati hasil dan terburu-buru menghakimi kegagalan. 

Sebenarnya tidak bersalah juga keinginan yang satu ini sebab bertahun-tahun lama kita hanya menikmati kisah-kisah medioker di daratan Asia, bahkan Asia Tenggara!

Dahulu, zaman Om Bima bermain, rasa-rasanya cuma ada Thailand dan Malaysia yang bikin panas dingin. Sekarang dengan Singapura saja sudah berantakan, terlebih menghadapi anak-anak Ho Chi Minh: Vietnam. Termasuk, kelak saat melawan Myanmar dan saudara muda, Timor Leste, akan sangat sulit.

Maksud saya, mereka yang dahulunya seperti sansak dari kaki dan kepala Nusantara, sekarang berlomba-lomba membuang nasib mengenaskannya. Sementara timnas kita serasa berjalan di tempat sesudah tahun-tahun belajar di Belanda, Italia, Uruguay, hingga bolak-balik Bali dan Jakarta saja yang gak kemana-mana juga sih.

Tidak banyak berubah. 

Tidak progresif dan revolusioner, kata seorang yang mendadak menyangka diri menerima mandat langit untuk menyelamatkan negeri dari kepunahan historis. Maak!

Jadi, tidakkah kita sedang berhadapan jalan buntu sepakbola? Apa yang menjadi filosofi sepakbola nasional, yang mulai mewujudnyatakan dirinya dalam polesan Milla (silakan di baca di sini), hanya akan menjadi CINTA semata? 

Cerita Indah Namun Tiada Akhir, Dik.

Atau mungkin justru karena itu kita harus menambah level tabah lebih banyak lagi. 

Selalu mempersiapkan diri untuk berjuta-juta kekecewaan. Merelakan diri kedalam berjuta-juta kesedihan dan patah harap di depan (ilusi) menjadi juara Asia Tenggara. Memberikan kepada kepala segala bentuk-bentuk permakluman bahwa kita adalah bangsa bekas kolonial yang memang ditakdirkan berada di periperi kejayaan sepakbola.

Tabah dan bersabarlah, sebab seringkali sepakbola tidak lebih naas dari tipu daya politik. Dan kau masih tidak tahu meloloskan nasib dari padanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun