Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

7 Catatan dari Kemenangan Nyonya Tua

24 Oktober 2018   13:31 Diperbarui: 24 Oktober 2018   21:42 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami harus hormati Manchester United, sesuatu yang layak mereka dapatkan. Saya yakin pertarungan nanti akan ketat, tapi Juventus punya banyak senjata dan kami adalah Juventus - Cristiano Ronaldo

Juventus tidak menang banyak tadi malam di Old Trafford. 0:1 saja, tetapi bukan 0:1 yang biasa saja. 

Pertama, kemenangan tipis ini terjadi sesudah 22 tahun. 20 November 1996, di "The Theatre of Dreams", saat itu Juventus menang dengan skor yang sama.

Bintangnya adalah King Alex Delpiero lewat gol penalti di menit 36. Man Utd masih memiliki King Cantona, Beckham, Giggs dan Schmeichel di bawah mistar. Demikian juga La Vecchia Signora, masih ada Zidane, Deschamps, dan Boksic, salah satu penyerang seangkatan Davor Suker yang disegani Sir Alex Ferguson.

Kemenangan tipis ini juga menandakan kekuatan yang saling berimbang dalam sejarah pertemuan keduanya yang baru berangka 13 kali. Dari statistik head-to-head yang bisa dibaca di sini, Man Utd unggul dengan 6 kali menang, Juventus 5 kali. Sisanya imbang. Yang juga menarik adalah keduanya hanya menang dengan skor tipis, jika bukan dengan skor 0:1, 3:2 atau 2:1. 

Keduanya saling mengalahkan dengan skor besar 3:0 pada November 1976 di ajang UEFA Cup dan Februari 2003. Pada pertemuan pertama, Man Utd yang unggul sebaliknya pertemuan kedua dimenangkan Juventus. 

Kedua, Juventus bermain dengan penguasaan bola hingga 60%. Sependek yang bisa saya ingat, kondisi seperti ini jarang terjadi di laga tandang, terlebih yang dihadapi sekelas The Red Devils. Dalam penguasaan seperti itu, klub yang juga berjuluk La Fidanzata d'Italia ini menempatkan Bentancur, Pjanic, Bonucci dan Chiellini sebagai pelepas operan terbanyak. Totalnya, Nyonya Tua melepas 664 sedang Setan Merah hanya 437 operan.

Penguasaan seperti itu memang tidak bersifat otomatis dalam urusan jumlah gol, namun menunjukan kemampuan mengendalikan permainan. Hal yang sama bermakna, secara mental Juventus datang dengan keyakinan yang tinggi. Atau, dari sudut pandang Man Utd, yang sebelumnya hampir sukses membuat malu Chelsea, justru sedang berada di "titik buntu untuk menang". Sekurangnya, sedang dalam masalah sebagaimana telah diketahui sejak permulaan musim 2018/2019.

Kenapa begitu? Penjelasan spekulatif atasnya merupakan bagian Ketiga.

Sepanjang dua babak berjalan, saya tidak melihat kreatifitas bekerja di lini tengah anak asuhan Mourinho. Saat bersamaan Matuidi-Pjanic-Bentancur berhasil membentuk pagar defens-ofens yang fleksibel. Bentancur dan Matuidi bahkan sering sekali naik hingga ke kota 16. Artinya Pogba dan Matic tidak cukup menciptakan ancaman yang bisa dikonversi Lukaku atau Rushford menjadi gol.

Mentalitas yakin unggul milik Nyonya Tua ini hanya mungkin lahir dari pengenalan yang jeli terhadap situasi lawan serta pendekatan taktikal yang tepat dari seorang Allegri. Kita bisa membuktikan ini dari kemampuan Pogba, dkk yang hanya menciptakan 2 tembakan tepat sasaran.

Keempat, pada akhirnya kita harus membicarakan arti penting "the Man Behind the Gun" milik Man Utd. 

Sosok pelatih yang pernah membawa Inter Milan mencapai treble winner dan juga menjadi cover majalah Rolling Stones sepertinya sedang berada di titik paling surut dari ide-idenya. Padahal, ketika mengatasi Chelsea di Stamford Bridge, Pogba, dkk bermain selayaknya tim besar di EPL. 

Ketika bertemu Juventus, pendekatan Mou tidak membuat anak-anak Setan Merah tampil lebih kreatif dan bertenaga. Mou, di akhir laga, malah menyebut Bonucci dan Chiellini bisa memberi kuliah di Harvard tentang bagaimana menjadi centre back yang baik. Seolah dirinya tak pernah melatih di Serie A saja. 

Atau, tidakkah Mou butuh rehat sejenak dari persaingan sengit klub-klub elit?

Sebelum masuk ke bagian kelima, mari kita kenang aksi Alen Boksic kala membobol gawang Peter Schmeichel pada 11 September 1996. Gol yang lahir dari keahlian Boksic sebagai Master of the Chip. 

Kelima, kejelian pendekatan Allegri. 

Pilihan pada sistem 4-4-3 dengan poros Bentancur-Pjanic-Matuidi di tengah. Skema ini sebelumnya telah diuji pada laga melawan Genoa yang berakhir seri. Sementara di barisan depan, Mandzukic dan Cuadrado menjadi opsi pertama. Di belakang, Benathia berduet dengan Bonucci.

Kita bisa melihat jika skema seperti ini segera berubah ketika Juventus dalam tekanan. Cuadrado dan Mandzukic membentuk formasi 5 gelandang dengan menyisakan Ronaldo di depan. Walhasil, sedangkal yang saya candrai, Juventus menjadi lebih dinamis dan fleksibel dalam menghadapi perubahan situasi bermain. 

Hal yang sama dipertunjukan tadi subuh waktu Indonesia. Bedanya, selain faktor Chiellini yang menghadirkan ketenangan, Allegri sepertinya faham jika Dybala sedang dipenuhi keberuntungan di level Champions League. Dan, tentu saja, Juventus tidak melakukan kesalahan yang sama saat dipaksa seri Genoa. Kesalahan yang disebut Allegri, seperti tertidur di babak ke dua!

Keenam, tentang Ronaldo yang pernyataannya di atas menegaskan jika dirinya telah mengintegrasikan mentalitas juara ke dalam proyek Juventus. Dalam pengintegrasian itu, yang paling bisa dilihat adalah kehadiran Ronaldo telah menunjukan dua peran kunci. 

Yang pertama, sebagai tukang jebol gawang lawan dan memberi assist.

Peran ini juga menjelaskan bagaimana Ronaldo telah memulai adaptasi yang cepat-tentu dalam dukungan taktikal Allegri-dan memulai penciptaan sejarah di Allianz Stadium. Khusus terhadap laga tadi malam, catatlah jika sejak meninggalkan Old Trafford, Ronaldo tak pernah kalah melawan Man Utd!

Ketujuh, faktor Dybala. Dybala adalah orang Argentina ke empat, sesudah Claudio Lopez, Kun Aguero dan Messi yang boleh membuat trigol di ajang Champions League. Sesudah permulaan musim yang kurang greget di Serie A, dalam beberapa laga bahkan dicadangkan, Dybala mulai menemukan jalurnya di persaingan barisan penyerang.

Di awal musim sesudah kedatangan CR7, muncul spekulasi jika Allegri akan memainkan 4-3-3 dengan Douglas Costa serta Dybala sebagai pasangan bagi Ronaldo di depan. Plot ini dibayangkan akan membuat Juventus lebih agresif dan memiliki daya ledak dalam menciptakan gol. Dengan kata lain, trisula ini dibayangkan akan bersaing dengan Mane-Firminho-Salah di Inggris atau Neymar-Cavani-Mbappe di Perancis. 

Tidak terlalu penting membandingkan trisula seperti itu karena tidak banyak berguna kalau hampa gelar. Dan, sejauh ini, Dybala telah memberikan kontribusi yang penting sebagai bukti kepantasannya mewarisi nomor yang pernah dibesarkan Platini, Baggio dan Delpiero. Lebih penting lagi, semoga saja membawa Juventus meraih treble winner musim ini. 

Lepas dari tujuh catatan post-match yang sok tahu ini, saya kira kata-kata Allegri sendiri adalah kesimpulan paling kunci. 

"The players were good in the first have and we could have scored more goals. In the second we were a little brittle, and gave them [United] something to latch onto. But overall, I would say the team played well, and the players have shown when to up the tempo and when to slow it down. That is something different to Saturday as we fell asleep in the second half. I was pleasantly surprised by how the team played tonight."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun