Saat itu kami tak punya SSB, hanya ada kompetisi antar SMP dengan bintang terangnya adalah kakak Ellie Aiboy. Memang ada perkumpulan yang rutin latihan tapi saya kira standarnya masih belum memenuhi syarat SSB. Tak ada dari mereka yang fokus di jalur sepakbola. Tak ada yang meniti jalan menjadi penerus Timo Kapisa atau Ronni Wabia, misalnya.Â
Kawan-kawan masa kecil ini kini berada di jalur yang mungkin telah nyaman dengan kesehariannya: kerja yang rutin dan lingkar perut yang terus membengkak. Bersama anak-anak dan istri yang sesekali meminta liburan akhir pekan.Â
Yang mau saya katakan dari kunjungan singkat ke masa lalu ini adalah dalam sepakbola bakat-bakat hebat itu selalu tersedia, bahkan berlimpah lahir dan tumbuh di Timur Indonesia. Maka kemunculan seorang Valdo, yang mungil, tenang dan bebahaya dari Sentani ini adalah penegaskan kesekian kalinya jika sepakbola adalah ruang bagi keistimewaan manusia Papua. Keistimewaan yang abadi, yang tak tergantikan walau tentu tak lepas dari pasang surut ruang dan waktu.
Keistimewaan dalam bersepakbola yang mana kala dia tak hadir, kenasionalan kita seperti kekurangan rasa.
Terima kasih Valdo. Tetap rendah hati dan bekerja keras!
***
Sumber:
1. Kompas.com, 2. Indosport, 3. Bola.com dan 4. Football-tribe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H