Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Terbang dari Pinggiran

17 Oktober 2018   08:02 Diperbarui: 17 Oktober 2018   10:40 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabin Pesawat | rebanas.com

Bukan kali perdana, memang. Juga bukan kali perdana saya menyimpan pertanyaan yang sepertinya akan menjadi penasaran yang abadi: sebenarnya yang disebut alasan operasional itu apa saja? Terlambat ngisi bahan bakar? Bandara terlalu sibuk? Jalanan kota macet dan kru terlambat tiba di bandara? Tidak jelas dan satra papa! Sa baik-baik saja.

Dan itu, siapa itu? Mengapa seperti itu?

Seorang lelaki, mungkin menuju 50 tahun atau bisa jadi umurnya belum lagi melewati 40, duduk memeluk kantung plastik hijau yang kusut seperti rambutnya. Ia seperti memeluk benda paling berharga yang pernah dimiliki. Dia lalu menurunkan meja di balik kursi, meletakan majalah. Tangannya yang satu berusaha menahan lembar-lembar halaman agar tidak tertutup. 

Lelaki ini duduk satu deret di depan saya, di bagian sebelah kanan. Sendiri saja dan dekat jendela. 

Sementara pesawat sedang bersiap lepas landas. Sebentar lagi, pramugari yang lelah itu akan menegurnya. Belum lagi selesai saya membatin, perintah lembut sudah terdengar, "Pak, tolong mejanya dilipat dulu ya. Kita mau terbang."

Apakah lelaki ini baru saja bepergian dengan pesawat? Ya. Dan dirinya tak terlihat seperti sosok yang memaksakan diri seperti turis, ia tetap terlihat datang dari udik. Tapi bukan ini peristiwa seperti ini yang menggelitik alam sadar. Sebagai sesama yang datang dari yang udik, perilaku saya jauh lebih buruk kala pertama kali naik kereta api. Anda boleh membacanya di Berkereta Api, Kesaksian dan Harap dari Pinggiran.

Yang bikin saya terdiam dan kehilangan kata-kata adalah apa yang dilakukannya terhadap bungkusan plastik bermerek. 

Tangannya yang kurus dan berurat mengambil bungkusan plastik, menggigit ujungnya, membuat lubang sobekan lantas menuangkan isi ke dalam mulutnya. Sejenak mulutnya seolah komat-kamit. Persis kelakukan anak-anak terhadap Ovaltine atau Milo sachetan. Sesuatu yang lazimnya diseduh kini diteguk seperti memakan makanan ringan. Tapi bungkus itu bukan Milo atau Ovaltine-yang tidak akan membuat saya kaget karena pernah melakukannya.

Bungkus yang disobeknya itu adalah Indocafe Cappuccino. Makin lama makin terlihat asik. Bersama halaman majalah yang terbuka, dia seolah seorang diri di dalam kabin. Sementara saya mengidap sejenis takjub bercampur haru. Hanya sebentar saja.

Saya terus ingat narasi yang melukiskan konteks yang lebih besar dan rumit dari perkembangan pesat masyarakat manusia bersama teknologi yang ikut berkembang (lebih) pesat di dalamnya.

Menggunakan jasa penerbangan adalah bagian dari memasukan diri sebagai warga mondial (dari pinggiran). Sebagai bagian yang turut serta dalam mobilitas manusia yang cepat. Walau berlangsung dalam skala domestik, poinnya adalah mobilitas yang cepat antar kawasan-dan karena itu delay sesungguhnya adalah peristiwa yang tidak saja kontra-produktif; Delay adalah penyimpangan, tanda dari sistem modern yang disfungsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun