Apapun itu, nostalgia wajib dirayakan!
"Nonton Si Doel, yuk?"
Tumben. Biasanya hanya menjadi obyek dari keputusan, kali ini teman saya malah yang mengajukan opsi. Kenapa si Doel the Movie? Bukannya Kafir juga masih tayang?
"Saya dulu sering nunggu dia tayang di RCTI."Â
Oke, baiklah brader. Sebab kesadaran selalu berwatak intensional, maka manusia tidak boleh dilarang bernostalgia. Terlebih lagi jika ia pernah jatuh hati pada sosok Zaenab atau mungkin Sarah. Saya akan berlaku dzalim jika menolaknya. Lagi pula, hanya saya semata yang bisa diajaknya.Â
"Mending nunggu Wiro Sableng." Kata kawan yang satunya.Â
Sebenarnya dalam hubungannya dengan masa lalu yang terus hidup di ingatan, yang satu ini hampir tak ada beda. Wong dia cuma mau mengenang saat-saat berebut membaca novel silat Om Bastian Tito itu. Sisanya, dia lebih suka film kelahi dari pada drama.
Maka berbonceng motor Honda Supra yang mulai klasik, kami meluncur pelan ke gedung Cinema XX yang memiliki fasilitas layar 2D. Saat memesan tiket, di monitor, banyak kursi yang masih kosong. Sepi.Â
Jumlah 713.000 penonton di hari keempat itu mungkin penonton di kota yang lain. Sama halnya ketika Infinity War heboh sak dunia, di sini juga sepi.Â
Lampu mulai padam. Iklan mulai berakhir. Si Doel The Movie dimulai.