"Aku harus melihat kamu bahagia, meskipun kamu bahagianya sama orang lain, bukan sama aku. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, di sini ada hati yang selalu tulus menyayangi kamu."
Kisah Mas Pur yang mengingatkan pada tragedi atau kisah orang baik mengalami kemalangan-kemalangan karena kuasa yang lebih besar di luar dirinya pada akhirnya akan kembali mengalami sepi.
Kita juga tahu, kembali kepada sepi bukan sesuatu yang "khas sinetron". Sinetron alias kisah khayali yang dibuat mendayu-dayu dengan tubuh cerita yang tak pernah bercerai dari dunia hitam vs putih, kaya terhadap miskin, kebaikan menghadapi kejahatan; pendek kata, memuakkan sesungguhnya.Â
Namun, dalam hubungan produksi yang memuakkan seperti itu, mengapa masih bisa menyentuh, menjadi heboh sebagai percakapan dunia maya, (dan menghasilkan uang lebih banyak lagi dong)?
Semua yang ramai akan kembali kepada sepi. Walau begitu, kembali kepada sepi di kisah Mas Pur bisa bermakna banyak arah. Arah-arah itu bisa Anda baca di Surat Terbuka untuk Mas Pur atau Mas Pur Sebagai Laki-laki Paripurna. Saya ingin melihat lagi satu dari sekian arah.Â
Melihat arah yang rasanya belum cukup terwakili dalam kehebohan itu. Kepada sesuatu yang belum dibicarakan bahkan ketika kehebohan virtual mencapai "status filosofis" (: direnung-tuliskan secara serius, misalnya). Sesuatu yang berdiri di antara perkara individu dan masyarakat, yang menyangga keduanya.Â
Kira-kira begini, Mbloo..
Dalam cerita Mas Pur yang malang itu, otoritas di luar dirinya bukan saja status sosial, posisi ekonomi, atau tampilan fisikal. Otoritas yang bekerja dengan efektif, bahkan dalam kasus tertentu adalah ekspresi dari "politik Orwellian" yang serba mengawasi dan mendisiplinkan. Paling tidak, atas nama itu.Â
Atas nama?Â