Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Deschamps, Kisah Penjaja Air dan Kandidat Orang Ketiga

11 Juli 2018   14:56 Diperbarui: 17 Juli 2018   15:24 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I'm here to write a new page in history

- Didier Deschamps 

Tidak terlalu mengejutkan bagi aku dan kamu jika pada akhirnya, Deschamps akan menjadi orang ketiga. Sesudah Beckenbauer dan Zagallo. Sebelumnya ia telah sukses menjadi orang ketiga sesudah Beckenbauer dan Casillas, sebagai kapten tim yang mengangkat dua piala: Eropa dan Dunia. 

Kita tahu--maka berterimakasihlah pada Google--Deschamps bukan saja seorang juara, kapten tim, dan petarung yang tidak banyak bicara. Dia bukan Conte, namun karena itulah, memiliki kualitas yang lebih kalem dari Zidane, misalnya. Yah, Zidane pernah menanduk Materazzi yang bermulut "rica-rica" itu.

Deschamps juga adalah sosok dengan kemampuan memulihkan martabat sebuah tim. Ceritanya tahun 2006.

Sesudah skandal pengaturan skor yang membuat Serie A turun kelas hingga detik ini. Juventus adalah tersangka di barisan depan. Harus mengalami sanksi diturunkan ke Serie B, kasta dua. Juventus menanggung dosa sebagai, "mereka yang menghalalkan segala cara untuk menang!" Sejenis kumpulan mafia yang pada akhirnya akan menemui senjakala.

Deschampslah yang datang dan bekerja menyelamatkan mereka. 

10 July 2006, ia menggantikan Don Capello yang resign. Mengembalikan La Fidanzata d'Italia alias Sang Kekasihnya Italia kepada trah yang semestinya. Lelaki kelahiran 15 Oktober '68 ini memang tidak bekerja dengan "Juventus B", yang terbuat dari kombinasi para reserve dan pasukan primavera. Masih ada Super Buffon, King Alex Delpiero dan serta Trezequet yang bertahan melewati masa hukuman. 

Mereka kembali ke Serie A sebagai juara dari Serie B. Namun Deschamps tidak bertahan di Serie A. 

"Saya dan manajemen berbeda visi," katanya saat itu. Konon ada ketegangan di manejemen klub yang bikin suasana tidak kondusif. Deschamps memilih mudik. Melatih Marseille, klub yang pernah dia perkuat sebelum menjadi "bintang terang" di markas La Vecchia Signora.

Selama lima musim di Negeri Pizza, Deschamps meraih tiga juara Serie A, satu Coppa Italia (TIM Cup) dan dua Supper Coppa. Dua kali membawa Juventus ke final Liga Champions dengan sekali juara (1995-96/96-97). Sesudah menjadi legenda Juventus, dia merantau ke daratan Britania, ke markas Chelsea. Membantu klub ini memenangi FA Cup. Penghujung karirnya berakhir di Valencia, Spanyol. 

Zidane dan Deschamps saat di Juventus | Getty Images
Zidane dan Deschamps saat di Juventus | Getty Images

Deschamps gets by because he always gives 100 per cent, but he will never be anything more than a water carrier - Cantona

The King Cantona pernah kurang ajar di hadapan kualifikasi Deschamps, dengan mengumbar kata-kata di atas. Dia bahkan kelewatan dengan bilang, di Serie A, hanya ada dua Frenchman yang layak bermain di sana. Zidane dan Djorkaeff. Pernyataan ini sebenarnya adalah bagian dari "psywar" jelang Juventus vs Man Utd. Juve akhirnya menang, maka jangan tafsirkan literlik.

Saya tetap saja penasaran, apa itu profesi Pengangkut/Penjual Air (Water Carrier/Seller)?

Hanya tersedia penjelasan terbatas yang bilang jika profesi yang satu ini telah ada sebelum ditemukannya sistem distribusi air--tentulah di dalamnya belum ada penemuan akan kehendak privatisasi yang melahirkan Water War's (Vandana Shiva) atau teknologi pengolahan tinja sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan air seperti barusan heboh di Jekardah--yang memudahkan rumah tangga manusia menjaga kebutuhan dasar ini. 

Sang Water Carrier, katanya  lagi, mengumpul air dari sumbernya dan mengantarnya ke rumah-rumah. Singkat kata, dia adalah unit yang menjaga kehidupan manusia selalu dalam keseimbangan. Tanpa air, apalah arti hidup? Jangan berharap imajinasi jenis "ambulance tanpa uwi-uwi" bisa memahami peran historis sesentral ini.

Deschamps memang berperan "penjaja air" di Juventus. Dia adalah koentji dalam transisi menyerang dan bertahan. 

Marcelo Lippi yang pernah meraih kejayaan bersama di tahun 90an sudah menyebut jika sosok yang satu ini memiliki pemahaman taktis sejak masih menjadi pemain. Artinya, bisa dikatakan jika Deschamps adalah pelatih yang jeli dalam membaca strategi permainan lawan. Deschamps adalah "the Heart of Midfield". 

Bukti-bukti terhadap ini sudah terkonfirmasi dengan bagaimana ia membuat Messi tak banyak berfungsi dan memaksimalkan kecepatan dan skill ball Mbappe -Griezmann yang luar biasa di sisi kiri pertahanan La Albiceleste. Sedangkan saat memulangkan Belgia dinihari barusan, dia membuat Perancis bermain efektif--satu dua sentuhan--dengan Pogba, Kante serta Matuidi yang berdiri rapat berhadapan Hazard atau De Bruyne. 

Konsekuensinya? Lukaku hampir tak pernah menyentuh bola, kawan. 

Hazard sampai mengatakan, "Mereka bertahan dengan kuat dan sangat efisien. Kami tidak menemukan titik lemah mereka. Momen kecil nan magis yang dibutuhkan untuk mencetak gol tidak berada di sana."

Deschamps sekarang berada di depan halaman sejarah yang baru. 

Ia akan menjadi "Penjual Air" dan Orang Ketiga, selain Beckenbauer dan Zagallo, yang sukses sebagai pemain plus pelatih di event World Cup. Jika dua senior sebelumnya adalah warisan capaian masa lalu, maka Deschamps adalah yang pertama dari zaman kiwari. Deschamps adalah pesepakbola generasi 90an yang akan merintis jalan sebagai yang sukses dua arah. 

Tinggal kita lihat bagaimana dia meracik taktik yang akan menghentikan perlawanan Kroasia di final. Kroasia adalah tim yang bikin tak berdaya La Albceleste di babak kualifikasi grup. 3 gol tanpa balas! Dan mereka datang untuk melampaui capaian generasi Kroasia 98 di Perancis. 

Kok bukan The Three Lions? Halaah, rombongan dari liga paling menjajah televisi kita di akhir pekan ini, yang hanya bisa menang lawan Panama, Tunisia serta Swedia yang monoton itu, ngapain juga jauh-jauh ke final? Meraih juara keempat sudah maksimal buat mereka. Tidak percaya?

Intinya klean jangan nonton piala dunia tanpa Kacang Garuda. Ups!! Piss, meen.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun