Os ingleses o inventaram, os brasileiros o aperfeioaram (Inggris Menemukan Sepak Bola, Brasil yang Menyempurnakan)
Selalu saja ada yang mewakili keindahan sepak bola. Yang menyajikan pada kita pertunjukan seni mengolah si kulit bundar.Â
Saya sendiri merasakan, dengan kesadaran yang langsung, itu sejak kemunculan Romario-Bebeto, Ronaldo, Ronaldinho, hingga Neymar "the Spaghetti Man"; Neymar yang bikin orang sekelas Cantona turut "kegatelan" hingga bikin video nyinyir.Â
"Neymar, you are a great player....and great actor," katanya. Bangkee!
Saya menyaksikan keindahan Brasil selama kurang lebih 20 tahun. Akan tetapi, ini bukan tentang lama waktunya. Ini perkara KONSISTENSI dari penerapan falsafah Jogo Bonito.Â
Dari wikipedia diceritakan jika Brasil memiliki capaian paling mengerikan jika tampil sebagai tim nasional. Untuk piala dunia saja, mereka paling depan dengan perolehan lima tropi (1958, 1962, 1970, 1994 dan 2002). Termasuk paling banyak juara piala Konfederasi (4 kali). Brasil juga adalah negara pertama yang bisa juara piala dunia di "empat daratan berbeda": Eropa, Amerika Selatan, Amerika Utara serta Asia.
Sependek yang saya ingat, tim Samba pernah dikritik karena filosofi bertahan semasa dilatih Carlos Caetano Bledorn Verri. Familiar kita kenal sebagai Dunga. Semasa bermain, Dunga adalah gelandang bertahan (defensive midfielder) yang sezaman dengan Romario-Bebeto. Dunga adalah kapten tim Selecao kala mereka juara piala dunia 1994. Tapi ibarat sinetron televisi, ia hanyalah iklan.
Jogo Bonito Brasil tetaplah mazhab arusutama di negeri dimana pedagogi kritis dikembangkan Paulo Freire.
Kali ini, Brasil ingin sekali tidak mengulang kesalahan 4 tahun lalu. Sebagai tuan rumah, negara bermoto "Ordem e Progresso" pernah dibantai Jerman dengan skor 7:1. Dari rekaman video, kelihatan betapa Brasil tidak tahu cara bertahan dengan baik. babak pertama seperti neraka saja dimana Jerman sukses menyarangkan 5 gol.
Khusus untuk gol dari Kroos dan Khedira, yang lahir dari sentuhan satu-dua, terlihat sekali betapa kelabakannya laskar Jogo Bonito.
Karena itu, Tite atau bernama lengkap Adenor Leonardo Bacchi dipilih sejak Juni, 2016. Dia disebut sebagai ahli taktik yang bercita-cita menyeimbangkan kemampuan Brasil dalam menyerang dan bertahan. Sejauh ini, sukses. Brasil lolos dari kualifikasi zona Conmebol sebagai peringkat teratas. Di babak ini, Brasil hanya satu kali menelan kekalahan. 12 kali menang dan seri 5 kali.Â
Di piala dunia Rusia, mereka aman dari seleksi dalam grup dan menyingkirkan Meksiko yang mempermalukan Jerman di laga pembuka. Laskar Jogo Bonito akhirnya ketemu batunya subuh tadi.
The Red Devils adalah batu nisannya. Duet Martinez dan Henry di balik pendekatan permainan terbukti lebih jitu.
I'm the proudest man on earth because I gave the players a very tough tactical assignment and the way they believed until the last second was incredible. - Roberto Martinez (BBC.com)
Tiga Senjata Andalan Setan Merah
Pertama, tanpa harus menjadi ahli taktik dengan macam-macam cabang teoritik, melihat Brasil di layar kaca adalah melihat bagaimana Neymar menjadi poros dari kreativitas dan penyerangan. Perannya ditopang oleh Coutinho. Selain itu, Tite membuat Brasil mengandalkan serangan dari sayap, dengan Wilian atau Douglas Costa di kanan. Di kiri, Macelo sesekali overlap untuk membantu Neymar.Â
Pada formasi 4-3-3 dimana Casemiro dan Paulinho merupakan duet gelandang bertahan yang berdiri di belakang Neymar, Gabriel Jesus dan Wilian serta Coutinho yang tiba-tiba bisa menjadi second striker. Paulinho sesekali bergerak masuk kotak 16 lawan, serupa peran yang dimainkannya bersama Barcelona. Di barisan belakang, Miranda dan Thago Silva adalah jangkar paling terakir.
Tadi subuh, dengan kacang garuda yang membantu komat-kamit mulut, saya tidak terlalu heran ketika Fellaini-Chadli bermain sejak awal.Â
Martinez jelas memilih tidak memainkan Martens dan Carasco yang lebih bertipe agresif-ini Brasil, wahaai!--sehingga condong defensif. Bersama Witsel yang biasanya bekerja seorang diri sebagai defensive midfielder, kehadiran Fellaini membuat poros kreativitas Neymar-Countiho macet. Menemui tembok yang hampir tidak pernah meninggalkan lubang di sisi kanan pertahanan sendiri.Â
Kita bisa lihat dari beberapa kali manuver Neymar bisa dibatalkan serta mampu menutup ruang serta memblokade usaha Coutinho yang terkenal lihai bikin gol dari luar kotak 16. Daya redam ini makin disempurnakan oleh begitu rapi dan tenangnya barisan belakang oleh yang dihuni Kompany, Vertonghen, Alderweireld, serta Meunier. Hampir tak ada kesalahan yang bisa dimanfaatkan Neymar dengan drama diving-nya.
Kedua, siapa lagi kalau bukan trio Hazard-De Bruyne-Lukaku. Ketiganya adalah inti dari kreasi serangan balik yang membuat lini belakang Brasil kocar-kacir. Salah satu counter-attack itu adalah aksi individu Lukaku dari lapangan tengah yang diselesaikan dengan shooting sempurna De Bruyne dari luar kotak 16. Shooting berkelas khas De Bruyne. Hazard juga mngkreasi beberapa kali dribbling yang membuat Fernandinho harus memaksanya berhenti dengan segala macam cara. Â
Pada dasarnya, ketiganya berhasil membuat Brasil tidak benar-benar nyaman dalam menyerang.Â
Dari statistik hasil pertandingan yang dilansir ESPN, Brasil tidak dominan dalam penguasaan bola, hanya 57% berbanding 37%. Sementara ujicoba sepakan ke gawang, pasukan Tite memang unggul jauh--yaiyalah, orang ketinggalan--sebanyak 26 kali. Namun dengan tepat sasaran (shot on goal) hanya 9.  Belgia cuma 8 kali dengan 3 tepat sasaran.Â
Ketiga, Courtois, benteng terakhir yang begitu tenang menghadapi segala rupa serbuan. Paling heroik adalah saat dia menghalau sepakan Neymar ke arah pojok kiri sesudah menerika assist dari Douglas Costa. 9 sepakan ke gawang berhasil diamankannya. Wajarlah jika man of the match menjadi miliknya.Â
Keseimbangan Dinamik
Belgia vs Brasil adalah pertandingan yang membuat kita kembali melihat kemenangan dari kemampuan bertahan dan serangan balik nan efektif. Bersamaan dengan itu mentalitas yang disiplin dan ketenangan yang stabil di tengah serbuan dari segala rupa penjuru. (Seperti milik Italia aja..)
Saya sendiri menolak menyebut ini sebagai pragmatisme karena tidak terlalu banyak gunanya memainkan penguasaan bola dominan dengan hasil yang menyesakkan dada. Saya lebih suka melihat Belgia atau yang dilakukan Perancis terhadap Argentina sebagai cermin dari prinsip keseimbangan dinamik; istilah yang mula-mula saya dengar dari Martin Natalegawa, mantan Menlu era presiden SBY.Â
Keseimbangan dinamik berarti memilih bermain dengan kemampuan bertahan yang rapi, saat bersamaan, memiliki satu atau dua gelandang kreatif dengan kemampuan membaca celah dan melepas umpan mematikan. Perancis memiliki Pogba, Belgia memiliki De Bruyne. Gelandang kreatif ini juga memiliki tandem defensive midfielder dengan mobilitas tinggi dan kejelian memutus penyerangan lawan. Ada Witsel dan Kante di dua negara ini.Â
Satu modalitas utama lagi adalah penyerang atau duet penyerang yang bisa mengacak-acak pertahanan lawan dan memiliki daya killing punch di atas rata-rata. Belgia memiliki Hazard dan Lukaku. Di Perancis, Mbappe, Griezmann serta Giroud berada dalam pakem sejenis.Â
Rasanya, Kroasia juga adalah prototype dengan ciri bermain seperti ini. Mereka punya duet Modric-Rakitic yang membuat lini tengah berada dalam kestabilan. Keseimbangan dinamik seperti ini tidak sama dengan negative football yang dipakai Rusia kala menyingkirkan Spanyol lewat adu penalti. Rusia jelas tidak punya gelandang kreatif dan striker yang haus jala.Â
Masalahnya, Belgia akan bersua Perancis di semifinal. Semacam seleksi terakhir untuk membuktikan "keseimbangan dinamik" milik siapa yang layak mencapai puncak. Sementara dari arah yang sebaliknya, saya kira kebanyakan orang berharap Inggris bisa lolos ke partai puncak.Â
Ya iyalah, negara Tiga Singa dengan slogan "Football Coming Home" ini masa' takdirnya kampanye melulu..
Jangan lupa nonton bola dengan Kacang Garuda ya, Prends.Â
*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H