Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Deadpool 2", Emansipasi Cinta Berujung Hambar

27 Mei 2018   12:44 Diperbarui: 27 Mei 2018   23:57 2656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Otoritas moral selalu menyiratkan hubungan-hubungan kuasa yang dipelihara dalam sistem nilai tertentu tanpa selalu disadari--termasuk pada ideology cinta yang membebaskan manusia tanpa memikirkan kebahagiaan sendiri--hingga terterima sebagai sewajarnya.

Di sinilah, usaha melahirkan Deadpool sebagai pejuang cinta humanis-universal justru bertentangan dengan sosoknya yang "anti-universalisme" itu. Ingatlah sekali lagi kawan, Deadpool di kemunculan perdana tidak dilahirkan demi menyelamatkan dunia. Lelaki berwajah ubur-ubur bersenjata pistol dan pedang plus bermulut jamban ini tidak punya visi mesias dalam hidupnya.

Selanjutnya, soal X-Force. Mereka inilah yang sedikit memberi keselamatan pada narasi Deadpool yang terkolonisasi kisah Terminator-nya Om Arnold.

X-Force adalah kombinasi dari niat baik dan usaha menjadi berguna dari segerombolan manusia. Kebanyakan dari mereka berakhir dengan tragedi yang konyol: pendaratan yang mematikan karena gagal mendarat. Selain itu, mereka bertindak tanpa desain operasi yang terukur. Sebagai yang sama dilahirkan Marvel, mereka adalah kasta alas kaki dari standar Avengers.

Sayang sekali, mereka yang biasa-biasa saja ini, tidak cukup digarap menjadi kehadiran yang membanggakan. Maksud saya, mereka hanya perlu diperlihatkan sebagai orang-orang biasa di tengah penyelamatan masa depan dari kekacauan masa kini karena negara api menyerang.

Bagaimana narasi seperti ini dimunculkan?

Rhett Reese, Paul Wernick (sebagai penulis naskah), David Leitch (sutradara, yang juga membesut John Wick), atau Ryan Reynolds  (produser sekaligus yang jadi Deadpool) hanya kurang melakukan studi banding kepada film Bodyguards and Assassins (2009).

Berlatar tahun 1905, film ini berkisah pengorbanan orang-orang kecil dalam mengamakan konsolidasi politik Sun Yat Sen. Konsolidasi yang menandai hancurnya sisa-sisa tatanan feudal Tiongkok di tengah jeratan kolonialisme Inggris.

Orang-orang kecil yang mengamankan konsolidasi yang sukses ini berakhir mengenaskan. Sebagai pahlawan yang sunyi.

Mereka tidak melibatkan diri karena memahami maksud konsolidasi itu atau membayangkan demokrasi dan tatanan republik akan memberi ruang bagi pemanusiaan manusia serta menghentikan perbudakan ala sistem dinasti. Mereka tidak berdiri dalam optimisme akan masa depan yang cerah yang mulai merayapi cakrawala.  

Tidak ada panggilan ideologis yang membara selain karena ingin menjadi berguna di sisa hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun