Melihat Leo Bonucci merayakan gol dari hasil sepakan pojok adalah melihat kebutuhan akan pengakuan.Â
Sebab kita tahu, sebelum Gatusso menjadi suksesor Montella, Milan hanyalah kombinasi yang mengenaskan antara transfer j0r-joran dan riwayat tim besar yang terseok-seok mengembalikan identitas dan levelnya. Ditambah lagi, Leo adalah el capitano. Ada beban memimpin tim dengan banyak dihuni anak muda melewati masa sulit sekaligus menunjukan kepada mantan, aku tengah sukses bersama musuh sejatimu..Â
Gol dari Cuadrado, yang baru sembuh dari cedera, dan Khedira menunjukan bahwa selebrasi tersebut hanya menangkal cemohan Juventini. Tidak menjawab perkara yang lebih besar. Lebih persisnya mengenai Milan sebagai sistem bermain yang pantas dicemaskan lawan. Utamanya pada pertandingan besar nan emosional seperti Derby d'Italia.Â
Kebelumpantasan itu, ironisnya, pertama ditunjukan oleh Wenger(ism): seorang Frenchman sepuh yang semestinya istirah dari sepak bola. Memang sih kejadiannya di liga Eropa yang diperuntukan bagi klub-klub medioker. Lantas, subuh barusan, Juventus menegaskan Milan baru mencemaskan bagi yang sekelas Inter, Napoli dan, AS Roma.Â
Maksud akutu, para Milanisti tidak perlu bergundah gulana seorang diri. Masih ada tiga tim lain bersama klean. Saya sebenarnya masih yakin Gattuso punya potensi membawa Milan yang kita rindukan seperti kala Paolo Maldini bermain. Kok bisa? Alasannya bisa dicerna di artikel Milan Era Gattuso, Kembalinya Mentalitas "Dog of War"?
Napoli, misalnya. Semestinya mengamankan tiga poin kala melawan tim selevel Sassuolo bersamaan Juventus diuji Milan, malah mendulang seri. Padahal anak asuhan Sarri yang memiliki cara menyerang paling indah di Serie A ini tidak memiliki tantangan seberat Juventus. Mereka sudah tersingkir dari Champioons League dan bukan finalis Coppa Italia. Singkat kata, Napoli hanya melawan dirinya sendiri.Â
Inter pun setali tiga uang. Sempat disanjung-sanjung bakal menjadi kompetitor serius musim ini, ternyata hanya panas-panas telek ayam. Sisanya berjibaku melawan dirinya sendiri. AS Roma, yah, kurang lebih sama statusnya. Radja Nainggolan yang sangat benci Juventus pada akhirnya harus jujur bersuara jika Sang Kekasihnya Italia ini paling layak juara (baca: memang superior!).
Juventus sama memulai musim dengan komposisi tim yang juga berubah. Nama-nama baru masuk dan mereka yang boleh menjadi legenda baru--maksud saya, Vidal, Morata, Pogba dan Bonucci sendiri--justru dilepas. Khusus di musim ini, sosok serupa Costa, Bentacur, Bernardeschi, Desigclio, Matuidi hingga Howdes jelas adalah nama-nama bak bumi terhadap langit dihadapan transfer Neymar, Coutinho, atau Mbappe. (Selengkapnya saudara-saudari boleh melihat terawangan perkara skuad Juventus di sini).Â
Pasukan Allegri bahkan sempat diposisikan Napoli sebagai nomor 2. Ketika harus bertemu Hotspurs yang bikin Real Madrid keteteran, mereka seketika diduga bakal tersingkir. Semua ini ternyata dilampaui. Kembali mengambil alih puncak klasmen. Laju di Coppa Italia dan Champions League tetap terjaga.Â
(Lagi) Mentalitas dan Kejelian Taktik!
Juventus kembali memiliki kesempatan meraih double dalam asuhan Allegri.
Kesangsian bahwa klub yang memiliki jersey pertama berwarna pink ini akan menghancurkan takdir gagal juara di level Eropa atau ngapain berdarah-darah mencapai final kalau hanya meraih medali perak jelas adalah mimpi buruk yang terus berkuasa. Namun, itu tidak lantas menutupi fakta jika klub ini terus berada dalam organisasi bermain dan mentalitas yang terpelihara. Sekurangnya dalam tujuh musim terakhir paska-skandal pengaturan skor.Â
Persisnya adalah kejelian taktik dan Fino Alla Fine Mentality-Nyonya Tua.
Kejelian taktik dimaksud adalah bagaimana Allegri mendekati pertandingan, khususnya ketika berhadapan dengan tim yang agresif, jadwal yang padat serta beberapa pemain kunci yang cedera.Â
Dalam musim ini, pertemuan dengan Tottenham Hotspurs di Champions League boleh dijadikan contoh. Kala itu, skuad Allegri pergi ke Wembley dengan status mencemaskan. Bagaimana tidak, bermain di rumah, mereka hanya bisa menahan imbang 2:2 dan terlihat keteteran oleh agresifitas Harry Kane, Delle Ali dan Erikson. Sebelumnya, kita telah menyaksi sekelas Real Madrid boleh dibikin pontang-panting oleh anak asuh Pocchetino ini.
Sepanjang pertandingan itu, Juventus seperti biasa: membosankan dan penuh drama.Â
Juventus tertekan selama pertandingan. Ada banyak pelanggaran, bahkan Barzagli yang sengaja menginjak Son Heung-Min lolos dari kartu merah wasit. Namun di saat-saat yang meresahkan ini, Higuain dan Dybala membuktikan diri sebagai pembeda. Bersamaan dengan uletnya dua back sepuh, Chiellini dan Barzagli, yang jatuh bangun di depan Buffon.Â
Masuknya Stephan "The Swiss Train" Lichtsteiner di paruh kedua adalah kejelian lain yang diperlihatkan Allegri. Â Lichtsteiner-lah yang mengeksploitasi celah di sisi kiri Hotspur, memberi crossing yang diselesaikan Higuain. Gol ini adalah titik balik hancurnya agresifitas Kane, dkk.Â
Pada kekalahan Milan tadi subuh, perubahan dari skema 3-5-2 menjadi 4-2-3-1 adalah bentuk kejelian kesekian si pelatih yang awal kedatangannya dicemooh. Masuknya Costa dan Cuadrado membuat kreasi serangan lebih efektif. Nama yang kedua bahkan mencetak gol dari umpan Khedira. Bonucci sendiri mengakui jika jenis Costa dan Cuadrado selalu bisa menjadi pembeda. Tentu jika Dybala dan Higuain macet.
Sedang gol penutup dari Khedira, arah serangan juga datang dari sini kanan Milan. Aksi Dybala sukses menarik tiga orang sebelum assist yang diselesaikan dengan sepakan bola menyusur tanah. Persisinya bisa disimak pada video di atas.
Situasi ini jelas didukung oleh merosotnya kemampuan bertahan Milan yang di-organize Leo Bonucci. Soal el Capitano eks-Juve ini, Don Capello mengakui jika dia adalah salah satu dari tiga bek terbaik di dunia. Masalahnya, "..But he can't defend. He has big problems. It was ideal for him at Juventus, where he was free. It's perfect for him to play in a three [in defence]. Playing in a four is hard."
Nah, ini berarti yang belum bisa move-on dari keperkasaan tiga bek adalah dirimu, Bonucci. Juventus baik-baik saja bersama Rugani atau Benatia. Selebihnya, kita bisa melihat kembali bagaimana perubahan skema dan masuknya dua tukang dribbling adalah buah jelinya Allegri. Â Â
Bagaimana dengan mentalitas berjuang hingga akhir alias Fino Alla Fine?
Ini adalah karakter yang kembali dipulihkan Conte dan dipelihara oleh sosok sepuh seperti Buffon. Saya hanya mengajukan Buffon sebab Delpiero sudah tak lagi bermain. Kenapa?
Buffon mengalami masa-masa sulit sesudah skandal pengaturan skor. Sebagai kiper berlevel World Class, ia memilih rela bermain di Serie B. Termasuk musim-musim berstatus klub medioker (berjuang di papan tengah klasmen) di era sebelum Conte. Tetapi Buffon tidak pergi. Pilihan untuk setia itu membawanya mencapai rekor clean sheet terlama sepanjang sejarah Serie A.
Yang terbaru, ia masih dipanggil Luigi di Biagio untuk mengawal gawang Gli Azzurri belum lama ini.Â
Lelaki kelahiran 28 Januari 1978 masih saja bermain di level tertinggi dan tak pernah lapar dari keharusan bertarung hingga akhir. Ini tercermin dalam "Surat Cintanya kepada Gawang" tahun 2016, silam. Â
Saya kutipkan lagi sebagian di sini:Â
"...Kita selalu berada pada dua titik berbeda tapi kita saling melengkapi, seperti mentari dan rembulan. Terpaksa hidup berdampingan tanpa bisa saling lama-lama bersentuhan. Lebih dari 25 tahun lalu aku sudah membuat ikrar; aku bersumpah melindungimu. Menjagamu. Menjadi perisai dari seluruh musuhmu. Aku selalu memikirkan kepentinganmu, meletakkannya di atas kepentinganku sendiri.
Usiaku 12 ketika aku mulai memunggungi gawang. Dan aku akan terus melakukannya selama kaki, kepala, dan hatiku masih mampu."
Dari surat cinta di atas kita boleh melhat satu kehendak yang menolak takluk oleh waktu. Sejenis mentalitas yang selalu berusaha memberi perlindungan terbaik kepada gawangnya hingga kaki, kepala dan hatinya menyerah. Dan kita tahu, Buffon masih terus menjadi pilihan pertama dari ambisi Si Nyonya Tua menegaskan superioritas di Serie A. Buffon adalah legenda hidup dari perjuangan sampai akhir itu.Â
Dalam dirinya, ada panutan yang menjaga kaderisasi spirit Fino Alla Fine: bukan masalah kalah atau menang yang pertama tetapi bagaimana berjuang mati-matian di lapangan. Proses lebih utama dari hasil, Mbloo!
Di dua fundamen kolaborasi antara mentalitas dan kejelian taktik, kita belum melihat AC Milan yang sepantasnya. Â
***
Sumber yang diacu dalam artikel ini adalah 1, 2, 3, serta 4.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H