Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tragedi dan Benda Mati atau Bagaimana Kita Ada

17 Maret 2018   07:40 Diperbarui: 17 Maret 2018   21:21 2415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

...kebanyakan tragedi mungkin lebih baik dipercakapkan dengan benda-benda mati. Setidaknya, tampak mati...

Aku butuh latar belakang yang sederhana. Untuk menjelaskan bagaimana sehari-hari kita mengada.

Kita hanyalah sepasang tali jemuran dan tiang kayu yang bertahan di musim instabil pada sebuah halaman tanah. Sementara setiap pagi dan, sesudah malam pertamanya, sesudah anak lelaki lalu dua anak perempuannya menyusul, seorang ibu yang kini rambut putihnya disamarkan warna merah datang dengan pakaian baru dicuci. Sambil menggantungnya di tubuhmu, ia akan bercakap-cakap. Atau barangkali hanya tersenyum dan mengembus napas. 

Aku ingat ibu itu pernah menggantung jeans sembari mengatakan,"Dia sudah harus mencari pasangan hidup yang membersihkan celana ini. Setidaknya, ia bersihkan sendiri. Tenagaku kini menyusut jauh."

Tapi kita berdua tahu, kasih sayangnya tak pernah susut bagi anak lelaki satu-satunya yang masih saja bangun kesiangan dan bekerja serabutan. Bahkan masih memintanya membelikan sebungkus kretek.

Ibu itu juga pernah datang lantas menggantungkan sebuah daster yang sebelumnya penuh dengan jejak noda darah--soal darah, maksudku, kau tentu tahu ini harus disebut bukan karena darah adalah sejenis kotoran atau dosa yang laknat. Ia hanya harus dibersihkan. Kau akan tahu mengapa--sembari menahan air matanya. 

"Remaja sekarang terlalu gampang terlibat kerumitan-kerumitan yang belum waktunya dimasuki," gumamnya. Terdengar kecewa dan bersedih.

Waktu itu kita berdua turut merasakan haru. Anak perempuannya yang belum lagi melepas seragam abu-abu harus berhenti demi mengurusi janinnya. Terlalu dini bagi remaja yang rapuh. Tapi tak ada penghakiman atau kalimat-kalimat moral yang menambah retakan pada jiwa yang butuh dipeluk dengan hangat.

Tidak lama berselang dari pagi dengan daster yang belum sepenuhnya mengugurkan jejak merah di bawah terik matahari, ibu itu telah menjemur daster lain yang mirip. Kali ini anak lelakinya. Tiba-tiba pulang dengan wajah lesu darah. Seorang remaja perempuan berdiri di sampingnya, dengan air muka yang sama. Seolah saja mereka baru meloloskan diri dari jebakan maut.

"Aku mungkin dipilih menjadi nenek kepada cucu-cucu yang ayah dan ibunya masih tak bisa hidup sendiri, dengan caranya sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun