Sebaris tembang baru menciptakan rusuh kecil
di matamu yang kosong
dan sebuah sudut remang-remang
bersusah payah menyimpan gemuruhnya.
Sebentar saja, waktu yang hilang
lukisan sembilu kenangan
lalu lalang ke dalam gelisah.
Apa yang remang, semestinya tenang,
kini lebih sengsara kau jangkau.
Sungguh, pikirmu, mestinya kau
jangan membiarkan seseorang
singgah membawa lari
pagi yang kasmaran dan perjalanan
yang tidak ingin dibayangkan.
Namun tembang itu..namun suara itu..Perempuan itu..
Ia masa lampau yang suci.
Seperti rindu atau sesal
pada hening yang sekarat
atau anak-anak yang mengeja orang dewasa
sebagai sekolah memaafkan dan memulihkan.
Sementara kau
masih tidak bernas mengerti
atau selalu gagal kembali
pada sebuah titik sebelum kesalahan-kesalahan dimulai.
Setitik sunyi. Bahwa mencintai
tidak pernah cukup karena pikiran.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H