Chelsea menyatakan siap menderita, demikian Conte memberi pesan inferiornya. Itu artinya kita akan melihat Chelsea yang dikepung habis dan jatuh bangun menghalau serbuan Messi-Suarez yang tetap mengerikan tanpa Neymar di Liga Champions.
Tapi sebenarnya Chelsea tidak bermain buruk-buruk amat tadi malam. Terutama di babak kedua, sesudah tertinggal 2:0, Hazard dkk bermain lebih berani. Lebih banyak memainkan bola dan berusaha menyusul ketinggalan. Khususnya diperlihatkan oleh daya juang Kante di lapangan tengah dan aksi naik-turun Alonso dari sisi kiri pertahanan Barca. Juga dribbling-nya Willian dan Hazard yang berusaha menciptakan celah dalam sistem pressing Barca.
Akan tetapi, seperti kata Conte dalam wawancara sesudah pertandingan, Messi adalah pembeda dalam pertandingan itu. Begini komentar lengkapnya, "Every season finish he score 60 goals. We are talking about not a top player but a super top player. He made a difference but at the same time we have no regrets, I must be pleased for the commitment and behaviours of my players. I'm very proud. They gave everything tonight."
Tiga gol yang membuat klub milik Abrahamovich terlihat medioker memang bersumber dari kreativitas Messi. Dua aksi penetrasinya membuat si kulit bundar meluncur lewat selangkangan Courtuis. Sisanya adalah assist kepada Dembele. Pertandingan tadi malam juga menjadi saksi dari 100 gol Messi di Liga Champions yang dimulai dengan gol perdananya ke gawang Panathinaikos, 2005 silam.
Namun kita sebaiknya membicarakan Chelsea saja. Atau bagaimana menyimak catatan amatir layar kaca terhadap pertandingan yang membuat masa depan Conte makin suram sebagai menejer.Â
Tiga Sebab Utama
Pertama, melawat ke Camp Nou adalah tidak bermain dengan cara yang terbuka. Tapi cara apakah yang bisa meredam keberingasan Messi, dkk?
Ternyata Conte dan Chelsea tidak tahu bertahan dengan baik. Pada 5 menit pembuka yang selalu krusial sukses dimaksimalkan Messi dan Dembele dalam pementasan "operan X-L1" alias operan satu-dua. Termasuk juga ketika Messi meluncurkan tarian maut, tak ada covering- dari lini tengah. Terlalu mudah menarik tiga back Chelsea dan menciptakan ruang kosong.Kondisi ini yang bikin Dembele bisa mencatatkan nama di papan skor.
Gak ada sistem gerendel, yang mestinya dikuasai Conte. Sebaliknya, Valverde segera mengubah pendekatan manakala Conte mendorong Hazard dkk lebih agresif dengan menarik Mosses dan Giroud.
Apa bedanya dengan Barca era Ernesto Valverde? Ini poin kedua.
Ketika Chelsea mulai menunjukan nyalinya, Valverde memasukan Paulinho, lalu Gomes dan Vidal. Digantinya Iniesta dan Dembele dengan Paulinho dan Vidal adalah kehendak untuk bertahan. Gomes menggantikan Basquet yang cedera adalah opsi berniat sama. Buktinya, sejauh mata memandang, Barcelona di sisa waktu tak banyak menyerang. Selain aksi Messi yang kedua itu, tak ada lagi gol.
Valverde yang pernah bermain untuk Barca dalam masa asuhan Cruyff ini memiliki preferensi formasi 4-2-3-1 yang fleksibel. Bisa bermutasi menjadi 4-4-2, 4-1-3-2 atau 4-2-2-2. Selain itu, Barca tetap dibawanya bermain dengan penguasaan bola dimana para gelandang harus mobile sepanjang pertandingan.
Basquet, Rakitic serta Paulinho adalah koentji dalam pilihan ini. Sementara Messi diberi ruang bermain yang lebih bebas. Ada pun Alba dan Roberto begitu lentur melakukan transisi bertahan dan menyerang lewat sisi sayap.
Selain itu, Valverde adalah juru taktik yang membuat tim bermain dengan pressing yang tinggi. Pressing yang meneror permainan lawan sejak garis belakang. Serta serangan balik cepat, tak jarang dimulai dengan direct passing.
Dalam leg ke-2 barusan, statistik keseluruhan penguasaan Barcelona hanya unggul tipis dari Chelsea. 57% berbanding 43%. Tembakan ke gawang lebih banyak dilakukan Chelsea dengan 14 kali sedang Barca 8 kali. Namun Barcelona sukses melakukan 8 tackles, 4 blocks dan 17 clereances sebagaimana dimuat laman resmi UEFA.
Maksudnya, Barcelona juga siap menderita dalam kepungan---andai ada yang boleh melakukannya, hihhi.
Dan ini yang ketiga dari penikmat amatir layar kaca.
Sesudah tidak kuat menahan gempuran (baca: Conte tidak bisa menularkan cara bertahan grendel kepada Chelsea sebagaimana Mourinho dulu!), skuad ini juga tidak punya pemain yang boleh memberi efek kejut. Tak punya pemain yang memiliki kapasitas mengubah hasil pertandingan seperti Dybala atau Higuain.
(Sorry, dua nama ini disebut secara suka-suka mengingat untuk membandingkan dengan Messi adalah kemustahilan).
Giroud atau Morata yang menjadi striker tunggal dalam pakem 3-4-3 adalah kualitas yang jauh dari semengerikan Kane di Hostpurs. Bahkan tusukan-tusukan mencekam milik Hazard atau Willian hanya berputar-putar di depan kotak 16. Serbuan left-wing back seperti Alonso malah yang menciptakan kemelut. Tetapi... tiada satu yang boleh klimaks.
Fabregas yang mestinya menjadi "senjata rahasia" pun begitu-begitu saja. Tiada passing yang merepotkan, apalagi assist karena tertibnya pengondisian ruang sempit oleh duet Umtiti-Pique. Alumni Barcelona ini, rasanya, kini lebih mirip buah kaderisasi sepak bola Britania ketimbang bercita rasa Spanish.
Apakah Chelsea bermain serupa PSG yang disebut Arrigo Sacchi serupa kumpulan anak-anak kaya tanpa ide di kepala sementara Real Madrid bermain dengan rokok di mulut?
Morata dan Giroud memang belum menjadi pembunuh di muka gawang. Conte belum menemukan skema untuk mengeksploitasi daya ledak Moratta seperti kala di Juventus. Giroud? Saya tidak mengerti mengapa produk menuju afkir Opa Wenger ini diboyong.Â
Saya kira Chelsea masih lebih pantas berbangga dada atas kekalahan ini ketimbang PSG. Â Klub kaya baru yang berilusi boleh mengubah takdir dengan kolaborasi Neymar-Mbappe-Cavani.Â
Saya lebih berani berkesimpulan jika Chelsea belum menunjukan kemampuan menderita dengan "benar". Benar itu bermakna bisa bertahan dengan baik dari setiap serangan--termasuk cara-cara Italia yang menggunakan intimidasi dan drama memuakan--sekaligus membangun serangan balik yang mematikan.
Maksud saya adalah pemirsa harus melihat cara Juventus menghancurkan Hotspurs di Wembley, minggu yang lalu.Â
Mengapa duel itu bisa dirujuk?
Karena Kane dkk adalah tim yang memiliki agresifitas dan kecepatan yang mencemaskan. Real Madrid sang pemilik tahta dari "DNA Juara Eropa" sudah merasakan daya rusak mereka. Demikian juga di pertemuan pertama, Juventus hampir saja mencoreng kehormatan kandangnya.
Juventus tertekan selama pertandingan. Ada banyak pelanggaran, bahkan Barzagli yang sengaja menginjak Son Heung-Min lolos dari kartu merah wasit. Namun di saat-saat yang meresahkan ini, Higuain dan Dybala membuktikan diri sebagai pembeda. Bersamaan dengan uletnya dua back sepuh, Chiellini dan Barzagli, yang jatuh bangun di depan Buffon. Masuknya Stephan "The Swiss Train" Lichtsteiner di paruh kedua adalah kejelian lain yang diperlihatkan Allegri.
Soal Allegri, saya kira Fabio Cannavaro benar. Legenda Italia yang kini melatih klub Tiongkok pernah mengatakan jika kekagumannya terhadap Allegri adalah kemampuan menggunakan taktik yang tepat di setiap pertandingan. Kemampuan yang membawa Juventus melaju lebih jauh dibandingkan semasa dilatih Conte dalam sejarah pertempuran klub elit Eropa.
Lho, tapi kan si Nyonya Tua bertekuk 3:0 di fase grup kala berjumpa Messi, dkk?
Yhaa, nilai saja itu sebagai revans yang sukses. Musim sebelumnya, Juventuslah yang menunjukan tesis Don Capello dan Sacchi benar. "Barca (zaman Enrique) tidak tahu caranya bertahan. Juventus akan menyingkirkan mereka." Barca keok di semifinal.
 So, mari katakan saja jika pada putaran Champions League kali ini, Conte masih kalah canggih dibandingkan taktik Allegri dan Montella.Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H