Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wahai "Murid Zaman Old" dan "Murid Zaman Now", Bersatulah!

26 November 2017   10:15 Diperbarui: 27 November 2017   05:34 2999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu sinisme generasi zaman Old terhadap generasi kekinian, selain narsisus yang mewabah, adalah mentalitas yang memble. Khususnya mentalitas dalam menghadapi tekanan yang sedikit keras.

Misalnya saja seperti ini. Dahulu kala, di tahun 1980an, ada seorang siswa Sekolah Dasar yang bengal. Suka melanggar dan rajin memperoleh hukuman. Pada suatu saat, ketika jam belajar, bersama rombongan kecil kepala angin, beberapa orang memilih bermain sepak bola. Sementara itu jam milik guru yang terkenal Killer. Beliau kebetulan berhalangan mengajar dan memberi tugas menyalin. Walhasil, kabel kopling motor meledak di betis kecil bocah-bocah tak kenal jera. 

Perlu diketahui, kabel kopling adalah bentuk hukuman paling keras di kelas mereka. Hukuman sedangnya adalah dengan sebatang bambu yang diperhalus hingga lentur. Rendahnya adalah cubitan di atas pinggang. Artinya kenakalan anak-anak sudah pada level tertinggi. Sabetan kabel kopling membuat bocah itu mengalami meriang hampir seminggu. Dia memilih sembunyikan jejak ungu di betis itu sebisa-bisa mungkin. Bungkam!

Satu lagi kasus pendisplinan garis keras dari zaman pulang sekolah lebih memilih nangkap ikan di got. Masih bocah yang sama, yang kali ini bergerak menuju remaja. 

Di sebuah lab Fisika, seorang guru menitipkan tugas. "Wahai murid-muridku, kerjakan latihan soal pada halaman ini..dan ini," perintah ketua kelas menyampaikan amanah, "Pak Guru berhalangan. Siapa yang tidak mengerjakan, akan dilaporkan." Tambahnya menegaskan. Dan bocah yang sama, kali ini dengan rombongan kepala angin yang baru, memilih bermain sepak bola. 

Seminggu kemudian, bukan kabel kopling yang mendarat. Hari itu, mereka dibariskan di depan lab. Laki-laki semua, di bawah hangat mentari pagi. Dari kacamatanya yang miring di atas hidung, guru Fisika itu mengabsen nama dan melihat wajah pemilik nama-nama itu. Nama dengan wajah yang sering melanggar segera menerima tamparan. Tidak keras dan brutal memang, seperti sebuah video yang barusan viral. Tapi meninggalkan bekas merah di pipi. 

Apa yang dilakukan para terlanggar itu? Hanya diam. Sesudah jam sekolah usai, mereka tertawa terbahak-bahak. Terlebih di saat sekarang, ketika rata-rata mereka sedang menuju atau melewati kepala empat. Jika mengenang guru-guru Killer mereka, hanya ada tawa dan terima kasih.

Apakah dua kasus pendisplinan garis keras itu membuat bocah-bocah kepala angin ini berhasil? Tidak, hanya sedikit dari mereka yang mencapai posisi-posisi penting dalam pengambilan keputusan publik. Ada juga sih yang menikahi orang-orang di pucuk pimpinan lembaga tertentu--jika ukurannya adalah menduduki jabatan publik. 

Maksud saya, jika ukuran Anda adalah sekolah sebagai penjara bagi pemeliharaan ideologi kesuksesan dan segregasi kelas sosial. 

Apakah membuat mereka menjadi orang-orang baik? Tidak, tapi tidak ada dari mereka yang percaya bahwa kekerasan membuat mereka menolak memble. Menjadi terdidik bukan cuma klaim orang sekolah. Pengalaman selalu adalah guru terbaik, masyarakat adalah ruang belajar tanpa kenal kelulusan apalagi rangking. Akuur?

Setiap guru melahirkan muridnya, setiap murid mengerjakan zamannya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun