Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ramai Kasus Setnov dan Narasi "Papahisme"

17 November 2017   09:33 Diperbarui: 17 November 2017   16:49 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau membuka media sosial seperti twitter lantas mengecek tagar #IndonesiaMencariPapah, kita akan dibuat gemas terpingkal-pingkal.

Akun @makLambeTurah, misalnya, menciut: Mobil land cruiser terbaru nabrak tiang sampai peot tapi airbagnya gak aktif???  FTV banget. Komentar yang lebih dramatik, misalnya datang dari @DesnaMonica, Papah hilang Papah akan menyerahkan diri ke KPK malam ini ...... Setya novanto mengalami kecelakaan kepalanya di perban dilarikan ke RS Permata Hijau. ... Taiklah lu kebanyakan drama ya pah ya, ku sudah muak dengan semua ini. AKHIRI AKHIRIIII INI SEMUA !!!

Ada juga komentar bernada puitik yang memplesetkan milik Sudjiwotedjo dari @Sukandi_Suk, jangan sengaja tidur agar dibangunkan, jangan sengaja sakit agar dijenguk, jangan sengaja hilang agar dicari. hukum tak sebercanda itu. heuheu.Dan simaklah ciutan milik @vnxnt, Diduga mengantuk, sebuah tiang listrik tabrak mobil ketua dewan yg sudah kehilangan kehormatannya. #IndonesiaMencariPapah#SaveTiangListrik

Sedang akun @K_DramaIndo menciut, Drama korea yang malem ini kelar : #WhileYouWereSleeping#AvengersSocialClub Drama di indonesia yang gak ada kelarnya : #IndonesiaMencariPapah#SaveTiangListrik 

Dan masih banyak lagi.

Reaksi multi-komentar warganet terhadap ramai pemberitaan kasus Setya Novanto menggambarkan digitalisme informasi telah menjadi ruang bagi ekspresi-ekspresi warga biasa. Banyak yang kreatif, misalnya mencampurkan kritik dan humor dalam bentuk komentar atau meme. Kreatifitas yang menjadi hiburan di tengah reaksi elit politik di DPR yang cenderung berlindung di balik alasan-alasan legal-prosedural, seperti Fahri Hamzah.

Tapi saya tidak ingin masuk ke dalam polemik prosedural vs non-prosedural gaya elit politik. Ada ihwal yang penting dilihat dari drama pemberitaan korupsi KTP elektronik ini.

Salah satu meme yang beredar di jagat twitter | Sibod
Salah satu meme yang beredar di jagat twitter | Sibod
Papahisme dan Kekuasaan yang Sakit
Saya lebih senang menggunakan terma Papah ketimbang Papa. Sebab Papah lebih terdengar dekat, manja sekaligus menjengkelkan. Dan mari kita simak sedikit narasi mengenai Papah dalam kekuasaan.

Kebanyakan dari kita dipasok oleh kesadaran dan nilai-nilai tentang sosok seorang Papah sejak masih berupa janin. Apakah bersumber dari tatanan nilai bersama atau dari produksi budaya pop, seperti film dan sinetron.

Papah adalah pusat moral sekaligus inti rasional. Sebagai pusat moral, Papah menggambarkan karakter yang penuh tanggungjawab, pekerja keras, melindungi keluarga, berkorban kesenangan sendiri untuk istri dan anak-anaknya. Sedang sebagai inti rasional, Papah adalah karakter yang selalu penuh pertimbangan, serba merencanakan, dan memiliki fokus hidup yang jelas.

Tentu saja, dalam kenyataan, ada "tipe Papah yang menyimpang". Tapi seperti penyimpangan atau patologi pada umumnya, Papa seperti itu adalah musuh masyarakat; sejenis virus yang mengancam. Papah yang menyimpang adalah bukan Papah, hanya lelaki yang tak mampu mengatasi dirinya sendiri.

Secara struktural, Papah yang ideal di atas adalah Papah yang bisa mewujud ke dalam dua model. Mengikuti argumen watak dualitas struktur dari Giddens, ideal Papah dapat menjadi penghambat atau sebagai sumberdaya yang membebaskan.

Sebagai penghambat (constraint), ideal Papah justru menjadi pusat yang serba mengatur, sejenis "totalitarianisme dalam keluarga". Segala hal harus sepengetahuan dan seijinnya. Segala yang menyimpang akan menjalani hukuman. Konsekuensinya, yang berdiri di luar Papah hanyalah salin tempel atau bayang-bayang semata. Sebagai subordinat selama-lamanya, bahkan ketika Papah mati--tentu secara fisik--tak ada ideal lain yang boleh menjadi suksesornya.

Mungkinkah yang rasional melahirkan yang totaliter?Saya ingin lebih banyak bercerita di bagian ini.

Max Weber atau dalam perkembangan yang lebih jauh pada Frankfurt School, sudah lama menunjukan hubungan-hubungan yang mungkin terjadi antara keduanya. Weber menulisnya dalam terma sangkar besi birokrasi dan Erich Fromm dalam Revolusi Harapan menggambarkannya dalam masyarakat yang terkomputerisasi secara total dan lari dari kebebasan (Escape from Freedom).

Tentang Papah sebagai buah persenyawaan yang rasional-yang totaliter pernah juga diungkap oleh Niels Mulder ketika membahas struktur politik negara Orde Baru lewat investigasi antropologi. Menggunakan kritik terhadap patrimonialisme, Mulder (dalam Ruang Batin Masyarakat Indonesia; LKiS: 1999) menilai Negara Orde Baru dibangun oleh ketaatan pada figur sentral Papah. Berbeda dengan alasan-alasan struktural, antropolog alumnus Universitas Amsterdam melihat kondisi kekuasaan seperti ini adalah transformasi dalam watak raja-raja Jawa dulu yang sukses bertahan sekitar tiga dasawarsa.

Kritik-kritik barusan hanyalah segelintir yang bisa dikutip. Kita belum memasukan kritik feminisme, misalnya, dengan mengajukan pertanyaan bagaimanakah kekuasaan dn korupsi saling menopang ketika inti politik menjadi terlalu maskulin (:dalam dominasi laki-laki)? Tidakkah ketakseimbangan ini selalu memaksa politik kehilangan tujuan-tujuan moral dalam dirinya?

Poin pokoknya adalah figur Papah telah mengalami abstraksi melampaui identitas seksual dan pembagian kerja di dalam rumah tangga. Oleh kecanggihan mesin-mesin kekuasaan, ideal Papah boleh berkembang menjadi kesadaran kolektif di dalam masyarakat. Ideal yang bukan saja dipelihara namun telah diyakini sebagai cara pandang hidup. 

Dalam pada itu, hiruk-pikuk kasus Setnov dan reaksi warganet yang ramai dengan tagar #IndonesiaMencariPapah mungkin merefleksikan kondisi krisis yang serius. Setnov bukanlah satu-satunya Papah yang sekarang menghadapi masalah karena kekuasaan yang korup. Sudah banyak Papah yang menjadi tersangka korupsi dan mendekam di penjara. Dus, ini bukan tentang seorang Setnov lagi. Ini sudah tentang kehendak berkuasa laki-laki yang berbahaya bagi tujuan-tujuan baik berpolitik.

Jenis politik laki-laki yang merasa paling mengerti bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola dan bagaimana semestinya politik disiasatkan dari ruang-ruang dingin kala memproduksi peraturan dan anggaran, persekutuan dan intrik, konsensus dan negosiasi.

Artinya, kita sedang dipertontonkan oleh sisi yang (akan selalu) sakit dari ideal Papah?

Sebagai figur yang tidak berani menghadapi masalahnya sendiri? Tidak bernyali menghadapi sangkaan-sangkaan yang dituduhkan oleh lembaga antirasuah lantas menghentikan segala produksi cerita yang ramai dijuduli sebagai drama, bahkan oleh media massa arus utama? Sementara saat bersamaan, banyak suara telah meminta jadilah gentelmen. Sebagian malah menyarankan segera saja ditahan!

Dengan bahasa lain, dalam Papah yang rasional bersembunyi jiwa emosional yang rapuh. Yang menunjukan citra yang bersebrangan, antitesa yang gagal bersintesis; semacam standar ganda lelaki di inti kekuasaan politik (ekonomi).

Jenis lelaki yang mengingatkan saya pada dialog antara Sherlock Holmes dan musuhnya, Lord Henry Blackwood di film versi Guy Rictie (2009).
Blackwood saat itu sedang berada di dalam sel karena tuduhan sebagai master mind dari penculikan perawan untuk ritus sekte hitam. Blackwood mengajak bertemu khusus Sherlock dan menyerang bawah sadarnya dengan kata-kata, "Aku tahu di balik dirimu yang serba rasional tersembunyi jiwa yang rapuh dan kesepian." Sherlock selamanya hanyalah pecundang manja di depan kekasihnya, Irene Adler.

Bagaimana menurutmu, wahai Perempuan?
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun