Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ramai Kasus Setnov dan Narasi "Papahisme"

17 November 2017   09:33 Diperbarui: 17 November 2017   16:49 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Tribunnews.com

Sebagai penghambat (constraint), ideal Papah justru menjadi pusat yang serba mengatur, sejenis "totalitarianisme dalam keluarga". Segala hal harus sepengetahuan dan seijinnya. Segala yang menyimpang akan menjalani hukuman. Konsekuensinya, yang berdiri di luar Papah hanyalah salin tempel atau bayang-bayang semata. Sebagai subordinat selama-lamanya, bahkan ketika Papah mati--tentu secara fisik--tak ada ideal lain yang boleh menjadi suksesornya.

Mungkinkah yang rasional melahirkan yang totaliter?Saya ingin lebih banyak bercerita di bagian ini.

Max Weber atau dalam perkembangan yang lebih jauh pada Frankfurt School, sudah lama menunjukan hubungan-hubungan yang mungkin terjadi antara keduanya. Weber menulisnya dalam terma sangkar besi birokrasi dan Erich Fromm dalam Revolusi Harapan menggambarkannya dalam masyarakat yang terkomputerisasi secara total dan lari dari kebebasan (Escape from Freedom).

Tentang Papah sebagai buah persenyawaan yang rasional-yang totaliter pernah juga diungkap oleh Niels Mulder ketika membahas struktur politik negara Orde Baru lewat investigasi antropologi. Menggunakan kritik terhadap patrimonialisme, Mulder (dalam Ruang Batin Masyarakat Indonesia; LKiS: 1999) menilai Negara Orde Baru dibangun oleh ketaatan pada figur sentral Papah. Berbeda dengan alasan-alasan struktural, antropolog alumnus Universitas Amsterdam melihat kondisi kekuasaan seperti ini adalah transformasi dalam watak raja-raja Jawa dulu yang sukses bertahan sekitar tiga dasawarsa.

Kritik-kritik barusan hanyalah segelintir yang bisa dikutip. Kita belum memasukan kritik feminisme, misalnya, dengan mengajukan pertanyaan bagaimanakah kekuasaan dn korupsi saling menopang ketika inti politik menjadi terlalu maskulin (:dalam dominasi laki-laki)? Tidakkah ketakseimbangan ini selalu memaksa politik kehilangan tujuan-tujuan moral dalam dirinya?

Poin pokoknya adalah figur Papah telah mengalami abstraksi melampaui identitas seksual dan pembagian kerja di dalam rumah tangga. Oleh kecanggihan mesin-mesin kekuasaan, ideal Papah boleh berkembang menjadi kesadaran kolektif di dalam masyarakat. Ideal yang bukan saja dipelihara namun telah diyakini sebagai cara pandang hidup. 

Dalam pada itu, hiruk-pikuk kasus Setnov dan reaksi warganet yang ramai dengan tagar #IndonesiaMencariPapah mungkin merefleksikan kondisi krisis yang serius. Setnov bukanlah satu-satunya Papah yang sekarang menghadapi masalah karena kekuasaan yang korup. Sudah banyak Papah yang menjadi tersangka korupsi dan mendekam di penjara. Dus, ini bukan tentang seorang Setnov lagi. Ini sudah tentang kehendak berkuasa laki-laki yang berbahaya bagi tujuan-tujuan baik berpolitik.

Jenis politik laki-laki yang merasa paling mengerti bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola dan bagaimana semestinya politik disiasatkan dari ruang-ruang dingin kala memproduksi peraturan dan anggaran, persekutuan dan intrik, konsensus dan negosiasi.

Artinya, kita sedang dipertontonkan oleh sisi yang (akan selalu) sakit dari ideal Papah?

Sebagai figur yang tidak berani menghadapi masalahnya sendiri? Tidak bernyali menghadapi sangkaan-sangkaan yang dituduhkan oleh lembaga antirasuah lantas menghentikan segala produksi cerita yang ramai dijuduli sebagai drama, bahkan oleh media massa arus utama? Sementara saat bersamaan, banyak suara telah meminta jadilah gentelmen. Sebagian malah menyarankan segera saja ditahan!

Dengan bahasa lain, dalam Papah yang rasional bersembunyi jiwa emosional yang rapuh. Yang menunjukan citra yang bersebrangan, antitesa yang gagal bersintesis; semacam standar ganda lelaki di inti kekuasaan politik (ekonomi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun