Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Musik Panbers, Pinggiran dan Perantau

26 Oktober 2017   00:33 Diperbarui: 26 Oktober 2017   07:50 2374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2000-an, di kampus masih marak dengan festival musik rock bersponsor rokok. Festival-festival yang telah menjadi identik dengan kehidupan mahasiswa; tak ada festival musik, mahasiswa tak ada. Beberapa teman, yang berkumpul dari bermacam latar kampung halaman, bahkan mulai sibuk latihan dan berpikir akan membuat band. Tapi saya gak tertarik dan memang tak pernah diajak. 

Saya bukan tak pernah kenal White Lion, Guns N' Roses, Metallica atau Firehouse. Saya hanya tidak pernah sungguh-sungguh mencari tahu karena apa mereka bernyanyi. Saat itu, kesadaran udik ini masih hidup dengan aliran sejak masa SMP dari Jayapura, jika menyanyi dalam bahasa Inggris terlihat lebih 'naik kelas'. Saya belum ingin naik kelas. 

Masa-masa SMP inilah--masa koentji!--musik Panbers menemani kami hampir setiap hari. Jika tidak lewat radio kaset di rumah atau rumah teman, lewat toko kaset, maka lewat lingkaran kecil remaja 90an dengan gitar di tangan. Saya punya jenis Polytron dua pintu di rumah tapi lebih sering dikuasai Koes Plus dan Dlloyd milik ayah dan ibu. 

Musik dari band yang mengoleksi enam piringan emas untuk Bebaskan (1975), Nasib Cintaku(1976), Musafir (1978), Kekasihku (1979), Gereja Tua (1986), dan Cinta dan Permata (2001) memiliki keunggulan dalam dua hal.

Pertama, lagu-lagunya lebih mudah dimainkan oleh petikan gitar. Dalam bahasa awam, chord-nya tidak banyak cengkok, temponya pun sedang-sedang saja. Sama mudahnya dengan lagu milik Om Rinto Harahap atau Obbie Messakh. Karena kemudahan dimainkan inilah, saya belajar bergitar mula-mula. Saya belajar gitar dari seorang kawan sekelas yang lebih menjiwai lagu-lagu Charles Hutagalung. Dia seorang anak Sorong yang terbaik dengan gitar kala itu.  

Ketika dia berpindah memainkan lagu-lagu Jamrud yang mulai naik daun sebagai band rock tanah air, saya memilih tetap bersetia dengan lirik: Tak kusangka kau berbuat begitu, kau ingkari janji setiamu. Kini aku menderita sendiri. Tak kusangka, tak kusangka.

Kedua, daya sebar lagu-lagunya yang sendu mendayu-dayu. Sepengalaman dari masa itu, lagu-lagu sendu zaman 90-an jauh lebih mudah dinyanyikan kumpulan/lingkaran kecil remaja SMP atau tingkatan yang lebih tua. Sebagian dari lingkaran kumpul remaja jenis ini mungkin sedang merayakan galaunya. Tapi ada bagian yang menyanyikan lagu Panbers untuk pengalaman yang "lebih ekstasis". 

Pengalaman ekstasis berupa totalitas penghayatan menyanyikan lagu Panbers dengan pembagian vokal yang rapi. Koor yang rapi membuat pelibatan diri ke dalam musik Panbers lebih ngejreng. Biasanya dalam lingkaran kecil ini, ada teman-teman sebaya yang sudah berlatih dalam kelompok paduan suara gereja. Inilah kelompok inti yang menjaga ruang ekstasis.

Nah, ketika menjalani kuliah dengan jejak kejayaan terakhir festival musik rock karena melewati 2001 mulai berhenti, dan saya bertemu kawan baru yang lebih Fals, musik Panbers terlihat seperti sesuatu yang antik, untuk tidak mengatakan kontra-progesif dan repolusioner. Maklumlah, Soeharto sudah jatuh dan mulai sakit-sakitan tapi anak-anak FISIP akan tetap mengatakan, Orde Baru adalah Sistem, Boy. Bukan figur! 

Ini tidak berarti antara musik dan kritik sosial belumlah singgah ruang dengar saya. 

Saat Panbers mengikat kami ke dalam "lingkaran remaja pencari ekstasis musik", sudah lama musik Iwan Fals ikut hadir. Masalahnya, pernahkah kau menyanyikan lagu Umar Bakri dengan teknik Koor? Bagian lirik yang mana yang bisa dilantunkan dengan tiga lapis oktaf suara? Kami tak pernah. 

Kawan baru yang satu ini memang pelan-pelan mem-Fals-kan saya secara lebih kaffah, terlebih ketika menyeruak pertengkaran-pertengkaran berulang yang membuat lirik: jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila dayung tak terkayuh. Maaf Cintaku, aku menggurui kamu...begitu mewakili suasana hati, kesenduan itu hanyalah milik Panbers. Celaka!

Salah satu sebabnya, selain karena masa indoktrinasi Panbers yang lebih tua, semasa kuliah saya tinggal di perkampungan yang banyak dihuni oleh keluarga dari Sangihe Talaud. Mereka bukan saja pintar bernyanyi dan bermain musik namun juga penggemar musik-musik sendu 90-an yang setia. Setiap sore, di gang yang terletak antara pasar Bahu menuju rumah sakit Kandou di Malalayang, pasti ada saja rumah yang memutar warisan sendu 90'an. 

Akibatnya, bawah sadar yang sudah diruwat sedemikian lama oleh musik Panjaitan Bersaudara menemukan titik didih. Terlebih-lebih ketika berada dalam lingkaran usia paska-17, dengan gitar di tangan, gelas yang keliling berisi cap Ti...ah, sudahlah. Musik Panbers membawa ke titik didih yang mengawetkan ingatan akan masa-masa SMP.

Dari hit Awal dan Cinta sampai Cinta dan Permata, Benny dan Panbers tak pernah bergeser dari pop manis yang melankolis. Lagu-lagu itu adalah suara kaum marjinal Indonesia pada dekade '70-an. Kebanyakan soal orang pinggiran yang berjibaku dengan dunia kapitalisme. (CNN Indonesia)

CNN Indonesia mungkin benar jika lagu-lagu Panbers tumbuh abadi di masyarakat pinggiran. Mungkin juga mereka yang kalah atau bertahan dengan sebisa-bisa yang tersisa.

Saya mengalami langsung pinggiran dari dua lokasi di dua pulau berbeda. Yang pertama, di ujung Timur sedang kedua, di sebelah Utara Nusantara. Lokasi yang pertama adalah pemukiman majemuk yang dihuni oleh kebanyakan pedagang di pasar, PNS/Militer rendahan, supir-kernet angkot, buruh angkut, serta kos-kosan mahasiswa. Lokasi itu bernama Youtefa, Abepura. Ada pun pemukiman yang terletak diantara pasar Bahu menuju RS Kandou di Malalayang bercorak etnik lebih homogen. Pemukiman ini dihuni oleh PNS, pedagang kecil, nelayan, dan mahasiswa perantau yang merupakan bagian yang menghuni lansekap teluk Manado.

Tapi apakah itu keterpinggiran yang berjibaku dengan kapitalisme? Atau dengan kata lain, musik-musik sendu Panbers atau Dlloyd, misalnya, adalah semacam "katup pengaman psikis dari keresahan, kekalahan, dan kemarahan"? Semacam katalisator yang bekerja dua arah: 1), dari kepentingan kapitalisme, membuat para korban memiliki tembang bersama yang sejenak menenangkan atau (2), dari sudut para korban, membuat mereka memiliki saluran pelepas stres sehingga dijauhkan dari pikiran dan rencana prohesip. 

Wah, wah, waah. Ngeri kali. Tapi saya tidak tertarik di spekulasi di semisal ini.

Saya lebih tertarik melihat band Panbers yang tercatat telah menghasilkan karya lebih dari 700 lagu dalam ratusan album, baik beraliran pop, rock, rohani, keroncong, lagu Batak, dan Melayu. Selain itu, lebih dari empat dekade, Panbers pernah manggung di 350 kota besar dan kecil di Indonesia, konser di perbatasan negara, hingga di Jerusalem, Israel pada 2007, adalah generasi dengan karakter pop sendu yang menembus banyak batas etnik. 

Musiknya juga melintas di banyak ruang pertemuan manusia, namun dalam pengalaman saya, dia lebih sering ditemukan di pemukiman padat, jelata, kota. Di terminal-terminal, di angkutan yang sesak, dan di warung-warung pinggir jalan yang lengang. Musik Panbers telah menjadi semacam pengikat yang setiap hari bersenandung galau menemani putaran hidup di orang-orang di lokasi tersebut.  

Saya sendiri sekarang sudah berada di pulau yang lain dengan suasana pinggiran yang agraris. Di perangkat komputer pribadi saya, dengan winamp, saya sesekali memutar Perantau milik Panbers. 

Begini nasib orang perantau, mengadu nasib di negeri orang.
Nasib baik maupun malang itu sudah suratan tangan

Kesenduan memang tidak untuk menghimpun kelas-kelas sosial.

Selamat Berpulang Om Benny. Terima kasih pernah ada untuk Indonesia.  

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun