Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hari Sebelum Kompasianival 2017

22 Oktober 2017   19:33 Diperbarui: 22 Oktober 2017   20:45 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tak menimbang lama-lama untuk meregistrasi diri sesudah merancang waktu. Baru kali ini. Kebetulan, Oktober tahun masih berisik politik ini, ada sedikit kesempatan berlibur. Hari berjalan mendekat tanggal penantian.

Dan........

Petaka itu tiba. Ya, PETAKA!

"Akan datang tamu. Semacam studi banding," kata seorang kawan.

"Tanggal berapa?"

"18-20. Sehari aja sih di desa. Pas tanggal 19-nya, 20 udah balik."

Kampreeetooosss, maki saya diam-diam. Setidaknya, saya harus sehari sebelum acara sudah tiba di Jakarta, bermalam entah di Bogor atau dimana penampungan terdekat sudi menyelamatkan, sebelum ke lokasi pertemuan yang telah dinanti-nanti. Itu hanya terjadi pada tanggal 20 bersamaan pulangnya tamu. Kurang elok, atau mungkin sayanya doang yang merasa demikian. 

Rencana menghilangkan gemuruh dunia ke dalam ekstase di depan musik orkes dan menciumi tangan mereka satu per satu terbayang hanya akan menjadi angan-angan. Kapan lagi menjumpai mereka di satu panggung di hari yang sama tanpa harus lelah sebagai panitia? Kampretoos lagi dah.

Di hari tanggal 20, di dalam perahu penuh sesak, saya hanya mengabdikan gelombang yang pecah di badannya. Yang datang dari depan bukan saja tak pasti. Ia bisa mengubah yang telah disusun jauh hari. Makanya saya sering bingung kepada politisi yang terus-terusan meromantisir masa lalu tanpa sedikit pun pengalaman menderita dan berjungkirbalik memahami pikiran-pikiran besar dari masa lalu itu.

Saya merasa tema Kompasianival tahun ini tepat. 

Kita membutuhkan kolaborasi generasi dalam banyak hal. Terlebih ketika berhadapan dengan kecenderungan (politik) untuk menciptakan sekat-sekat yang sejatinya rapuh. Gelombang bersekat-sekat yang seolah hendak menarik mundur globalisasi dan membawa hidup hari ini ke dalam dunia yang tak pernah ada: struktur identitas yang murni. Seperti melihat Hitler sedang tersenyum dengan kumis yang ganjil dimana-mana. Sementara para pemuja populisme-ultranasionalis tengah merasa diri sebagai nabi-nabi baru. Padahal kita tahu, pada siapa mereka pernah menisbatkan "tuhan-tuhannya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun