Persoalan (: retak konseptual) yang secara spesifik bisa dihadirkan lewat pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Apakah anti-kolonialisme dimaksud adalah panggilan bersama menghancurkan reproduksi cara pandang, watak politik-kultural, jaringan kelembagaan politik dan struktur ekonomi pemerintah kolonial di era paskakolonial?
Apakah anti-kolonialisme dimaksud adalah perlawanan resmi dan kolektif terhadap resep neoliberalisme yang mendorong praktik-praktik deregulasi dan percepatan infrastruktur dan promosi investasi dengan menciptakan "counter-policy" dan blok historis sebagai alternatif ideologi terhadap dominasi kapitalisme?
Lantas, pertanyaan mendasar lain adalah kelompok pribumi seperti apa yang dimaksud dalam konfigurasi di atas? Yang disimbolisasi lewat kutipan pepatah milik anak-anak suku Nusantara?
Dalam konsepsi New Social Movement-nya Laclau dan Moffe, entitas pribumi dimaksud adalah seluruh keberadaan multi-identitas yang menderita di bawah kekuasaan kapitalisme? Karena itu, identitasnya berupawajah, mulai dari informalitas ekonomi, nelayan miskin, gelandangan dan kriminal, pengojek dan supir angkot-metromini, gerakan gay dan lebianisme, pelacur dan pemulung, buruh dan karyawan rendahan, akademisi, aktivis lingkungan (enviromentalis) dan aktivis perempuan (feminisme) hingga kaum beragama?
Karena itu gubernur baru akan menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan mewujudnya "the Chains of Equivalent", semacam lingkungan pluralitas pengetahuan, kesetaraan dan kesamaan agenda perjuangan terhadap gurita kapitalisme dengan Pancasila sebagai common background-nya?
Tidakkah di era sekarang ini, di dalam hubungan pribumi dengan pribumi juga dirawat oleh praktik yang besar memangsa yang kecil? Paling kurang, bersikap apatis atau nyinyir terhadap yang sedang berusaha menjaga sumber-sumber penghidupannya dengan menghadang kebijakan pembangunan: saya marah karena angkutan online dibatasi sekaligus nyinyir melihat orang-orang tua yang setiap kamis berdemonstrasi  di depan Istana Negara!
***
Pribumi bukanlah identitas tunggal yang diikat oleh trauma ketertindasan yang sama sementara struktur kolonialisme dimaksud tak jua terang tergambar sebagai penindasan kapitalisme, so, ini semua tentang apa?
Mungkin kita lupa jika gubernur baru Jakarta atau banyak gubernur sebelumnya atau para politisi, birokrat dan pejabat militer bukan selevel Evo Morales di Bolivia yang pencapaian kepemimpinan politiknya berakar dalam sejarah panjang perjuangan masyarakat adat cum petani. Sehingga agak susah kita melihat mereka sebagai juru bicara penderitaan pribumi.Â
Semacam dilema presentasi vs representasi dalam usaha menyuarakan Subaltern: mayoritas rakyat kecil yang mengalami kemalangan dan penderitaan oleh sistem yang eksploitatif dalam kesenyapan.