Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"The Great Wall", Keterasingan dan Kemusnahan Manusia

7 Oktober 2017   07:57 Diperbarui: 7 Oktober 2017   08:42 2689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sih yang paling dikhawatirkan oleh kehidupan manusia di bumi dalam beberapa tahun terakhir?

Ancaman dominasi robot dan Artificial Intelligence yang diajak terlibat dalam modernisasi militer sehingga perang hancur-hancuran ala Transformers adalah pemusnahan yang niscaya bagi keberadaan manusia? Kemerosotan daya dukung ekologi dengan segala macam manifestasi krisis-krisisnya yang kemudian menghidupkan kembali peringatan Mahatma Gandhi dari kuburnya dan memaksa manusia berjuang demi utopia Interstellar?

Dalam kaitan dengan tatanan makna, ancaman anomie dan anarki terhadap nilai-moral dikarenakan benturan dan tumbukan tak ada ujung, yang dimulai dari perkara revolusi intimitas (kemunculan robot pelayan syahwat), "disfungsi Teologia Religionum", hingga perkara yang melibatkan daya tahan konsensual sebuah bangsa? Atau, menggunakan istilah aliran Frankfurt, oleh masyarakat yang terkomputerisasi secara total, manusia kehilangan kekuatan inti dalam hidupnya: kapasitas kritis nalar dan keberanian menghadapi kebebasan lalu melarikan diri kedalam konformisasi menyeluruh yang melahirkan 'One Dimensional Society'?

Kecemasan-kecemasan seperti di atas seringkali lebih mudah kita nikmati dalam karya sinematik. Tanpa harus masuk ke dalam perdebatan apakah film adalah filsafat, kita tahu jika para sineas sering lebih cerdas mengimajinasikan pesan tentang masa depan dibanding politisi.

Tentang pertanyaan-pertanyaan spekulatif yang dirumuskan di atas, misalnya. Semuanya dirumuskan dari "hasil membaca film". Paragrap pertama, jelas merujuk pada film Transformers Michael Bay dan Interstellar-nya Christopher Nolan sementara yang kedua, yang terbaca agak ke Sosiologi Kritis, ia juga berjejak dalam film Her-nya Spike Jonze.

Tiga film ini boleh dikata berangkat dari permenungan atas situasi kekinian. Para sineas yang membesutnya diinspirasi oleh perkembangan dunia manusia, terutama dalam kaitan antara krisis politik-ekologi, teknologi dan kecerdasan buatan. Semuanya berakar dalam satu kecemasan, manusia terancam kepunahan oleh karena perbuatannya sendiri; manusia yang gagal mengatasi sebab-sebab keterasingannya sendiri.

Keterasingan dimaksud tentu bukan semata tentang manusia yang terusir dari lokasi hidupnya. Keterasingan yang dimaksud adalah ketika produk dari rasio manusia berkembang menjadi kekuatan tandingan yang tidak terkontrol lagi. Bahkan manusia harus menjadi budak dari produk-produk hasil karyanya sendiri.

Sementara itu, masih dalam kecemasan yang sama, ada pula sineas yang berusaha mengirim pesan dengan menafsir ulang legenda atau mitologi. Salah satu yang berhasil melakukan ini adalah Guy Ricthie lewat King Arthur: Legend of The Sword. Di film ini, Ricthie memperlihatkan asal-usul Arthur dalam versi yang paling mungkin secara manusiawi. Ulasan lengkapnya pernah saya ulas di sini.

Selain Arthur versi mantan suami Madonna itu, ada satu film yang berusaha menunjukan tema kecemasan yang serupa. Film ini merupakan buah kolaborasi Barat dan Timur yang dibintangi Matt Damon dan Andy Lau. Film berjudul The Great Wall (2016).

The Great Wall berangkat dari ide tentang peradaban manusia yang terancam musnah oleh serangan monster bernama Tao Tei. Tao Tei menyerang dalam setiap 60 tahun, dengan bergerak dari sebelah utara Cina. Serangan yang siklistik ini adalah salah satu alasan tembok raksasa itu dibangun.

Menjelang serbuan Tao Tei, dua pemburu komoditas yang memiliki latar belakang tentara bayaran datang untuk mencari bubuk hitam (mesiu) yang telah sohor sebagai senjata pemusnah massal di Barat. Keduanya kemudian ditangkap, menjadi tawanan, dan salah satunya, William (diperankan Matt Damon) terlibat dalam perang puputan melawan Tao Tei, bahu membahu dengan Lin Mae (Jing Tian), sang Panglima Orde Tak Bernama serta penasehat strategi perangnya, Master Wang (Andy Lau).

Tao Tei adalah monster yang sekilas mirip Tyrannosaurus Rex dengan satu mata hitam kekuningan yang terletak di bahu kanannya. Monster ini lahir dari keserakahan manusia yang tak mengenali batas yang membuatnya hancur.  Ia akan selalu menyerang untuk mengingatkan buah dari keserakahan akan melahirkan pemusnahan massal peradaban, bukan saja di daratan Cina.

Yusran Darmawan telah menunjukan jika The Great Wall yang disutradarai Zhang Yimou adalah film berkarakter "Whitewashing". Yakni film yang selalu menghadirkan orang kulit putih, Kaukasoid, selalu sebagai pahlawan; semacam kultus kulit putih tanpa pernah retak. Saya kira, benar adanya.

Terlepas dari sisi yang memuakkan ini, satu hal menarik yang perlu dilihat adalah keterasingan manusia atas dirinya. Terlebih-lebih ketika manusia terjatuh pada naluri subhuman, yakni keserakahan atas penguasaan sumberdaya alam dan ambisi untuk menaklukan dan menguasai teritori. Tao Tei adalah simbolisasinya.

Ada percakapan antara Jing Tian dan William yang merenungkan kembali apa sebab mereka bertempur. William dari merupakan wakil Barat bertempur untuk bertahan hidup. Secara terang, William bahkan mengutip prinsip yang disebut Darwinisime Sosial. Sedang bagi Jing Tian yang cantik itu, berperang adalah pengorbanan diri untuk sesuatu yang lebih besar. Yakni keberlangsungan hidup manusia dan peradabannya.

Terhadap situasi jatuhnya manusia pada naluri subhuman, film ini ingin menunjukan bahwa agar terhindar dari kepunahan ras, manusia Barat (Kaukasoid, Anglosaxon) dan Timur (Mongoloid, Cina) harus berkolaborasi. Sebagai dua negara adidaya dalam konteks kekinian, perseteruan keduanya hanyalah pertunjukan egoisme yang bodoh.

Para pemimpin politik dan militer bukan saja harus membuang visi kekuasaan mereka yang sempit. Untuk menghadapi bencana kemanusiaan karena manusia itu sendiri, dibutuhkan sumbangsih bersama dalam relasi yang setara.

The Great Wall, hemat saya, adalah imajinasi sinematik yang memiliki akar dalam kecemasan yang sama. Yaitu tentang keterasingan manusia karena dirinya sendiri. Karena itu, sejatinya, manusia tidak pernah bertempur untuk sesuatu yang datang dari planet lain. Sama halnya, apa yang disebut kutukan adalah perbuatan-perbuatan buruk manusia yang menjadi malapetaka tanpa dikenali lagi asal-usulnya dari mana.

Lewat teks pengetahuan, manusia memang telah lama dikisahkan menghuni bumi. Agama-agama Wahyu (Abrahamic Religion) pun menceritakan "momen kejatuhan manusia" lewat kisah Nabi Adam, a.s sebab kekalahan yang hanif terhadap yang dhaif. 

Ada riwayat kelam yang menyertai 'penemuan manusia' seperti perang dan pembantaian karena klaim kebenaran, keselamatan serta superioritas yang angkuh. Dalam terang pandang Posmodernis, kita mungkin akan melihat ini sebagai matinya narasi-narasi besar yang pernah begitu gagah yang menjuduli era Manusia Modern. Sementara para pengusung panji-panji Modernisme melihat ini semacam gugat kritis terhadap perjalanan sejarah yang belum selesai.

Di dalam negeri sendiri, kita melihat pertunjukan dari pertempuran politik yang, buat saya, dimotivasi oleh kehendak yang sakit untuk berkuasa. Kondisi kubu-kubuan yang terus dipelihara bersama provokasi dua arah mungkin menandakan hadirnya keterasingan yang bersembunyi dalam gemuruh tsunami informasi. 

Keterasingan yang tampaknya mengajak manusia dalam kubu-kubuan itu tak lagi mampu melihat batas-batas relatif dari dirinya bersama segenap kebenaran yang dipegang sembari aktif merawat banalitas dimana-mana. Ironis.

Dan bisa lebih parah lagi, keterasingan itu mungkin sedang bekerja melahirkan Tao Tei era digital. Siapa yang tahu?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun